BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebelum
masyarakat bugis mengenal islam mereka sudah mempunyai “kepercayaan asli”
(ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang
berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’
itu menunjukkan bahwa orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis masa Pra-Islam
seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu
kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan
beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang
tunggal), To-Palanroe (sang pencipta) dan lain-lain.
Kepercayaan
dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai
anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa–dewa ini
tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini
disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur.
Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk–petunjuk normatif dalam kehidupan
bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis mengklaim dirinya
mempunyai garis keturunan dengan Dewa–dewa ini melalui Tomanurung (orang yang
dianggap turun dari langit/kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh
dinasti kerajaan yang ada.
Kepercayaan
orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung”
orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk
tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep
tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas
tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa)
yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai
penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu
berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia.
Selain Islam,
kepercayaan suku Bugis lainnya adalah sistem kepercayaan To Lotang. Sistem
kepercayaan To Lotang memiliki penganut sebanyak 15 ribu jiwa. Masyarakat yang
menganut sistem kepercayaan To Lotang tinggal di wilayah Amparita, Kecamatan
Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang. Sistem kepercayaan To Lotang
didirikan oleh La Panaungi. Kepercayaan ini ada karena pendirinya mendapatkan
ilham dari Sawerigading. Sawerigading adalah jenis kepercayaan yang memuja
Dewata SawwaE. Kitab suci bagi penganut sistem kepercayaan ini adalah La
Galigo. Isi yang terkandung dalam kitab tersebut diamalkan turun-menurun secara
lisan dari seorang uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya. Sistem
kepercayaan ini memiliki tujuh orang tokoh agama, yang diketuai oleh seorang
Uwak Battoa. Sementara itu, tokoh agama yang lain mengurusi hal-hal mengenai
masalah sosial, usaha tanam, dan penyelenggaraan upacara ritual.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
nilai-nilai yang terkandung dalam hubungan manusia dengan Tuhnnya menurut
kepercayaan Toani Tolotang dan Amma Toa?
2. Apakah
nilai luhur yang terkandung dalam hubungan manuisa dengan diri sendiri dalam
kepercayaan Toani Tolotang dan Amma Toa?
3. Bagiamana
nilai luhur yang terlkandung dalam hubungan sesama manusia menurut kepercayaan
Toani Tolotang dan Amma Toa?
4. Apakah
nilai luhur yang terkandung dalam hubungan manusia dengan alam, pada
kepercayaan Toani Tolotang dan Amma Toa?
C. Tujuan
1. Agar
kita dapat mengenal aliran kepercayaan Toani Tolotang dan Amma Toa yang ada di
sulawesi selatan.
2. Mengetahui
ajaran budi luhur yang terkandung dalam kedua aliran kepercayaan tersebut.
3. Dapat
menambah khasanah keilmuan pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai
yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
1.
Kepercayaan
Toani Tolotang
Ajaran
Toani Tolotang tentang pandangan ke-Tuhanannya mengakui adanya Tuhan
sebagaimana pula pengakuan dari agama lain, dan bagi ajaran Tolotang yang
diakui Tuhan adalah “Dewata SeuwaE (Tuhan yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE.
Keyakinan Toani Tolotang mempunyai dasar kepercayaan lima iman dan empat rukun,
yaitu:
1) Iman
atau Yakin (Teppe; Bugis)
a. Percaya
adanya Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa)
Dewata
SeuwaE sebagai istilah atau penamaan yang diberikan kepada Tuhan mereka, akan
lebih jelas jika dikaitkan dengan sifat-sifatNya, yaitu tidak berbentuk dan
jasad yang dimilki makhluk. seuwaE juga menyataka sifat Tuhan mereka yaitu Esa,
tunggal. Sifat-sifat lain yang dipandang sifat Tuhan mereka ialah; Maha Kuasa,
maha mengetahui, maha berkehendak, maha adil, hidup terus, maha tegas, maha
pemberi, tentang tenpat (bersemayam) Tuhan dikatakan berada di tempat yang Maha
Tinggi.
Keyakinan
Tolotang sebagai ajaran yang dibaw oleh Sawerigading dan La Panaungi,
sebagaimana dijelaskan oleh Wa’Samang (Wa Battowa) yang dikutip oleh Lahmuddin
Nur Percaya adanya Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) disebutkan “Mappancaji
tenri pancaji, makkelo tenri pakkelo, naita mata tennaita mata iya maneng
makkelori artinya “Pencipta, DIA ada dengan sendirinya (tidak dilahirkan),
kuasa dan tidak dikuasai, segala yang nampak maupun yang gaib adalah atas
kekuasaannya.[1]
b. Percaya
Adanya Hari Kemudian (Lino Paimeng) dan adanya Akhirat
Karena
percaya adanya hari kemudian, mereka mempunyai prinsip bahwa manusia akan
dibalas oleh Dewata SeuwaE (PatotoE) sesuai dengan karyanya semasa hidup di
dunia. Kalau mereka selalu berbuat kebajikan terhadap sesamanya, maka akan
dibalas pula dengan kebajikan, sebaliknya jika hanya berbuat karya yang tidak
baik maka akan dibalas pula.[2]
Kepercayaan
Toani Tolotang juga mengenal akan terjadinya hari kiamat yang akan membawa
manusia kepada kehidupan abadi di lino Paimeng. Tidak dijumpai adanya konsep
tenyang neraka, nasib manusia di Lino Paimeng akan sangat tergantung pada hasil
laporan Uwatta kepada dewata SeuwaE tentang keadaan manusia itu dalam hidup di
dunia ini. Lipu Bonga adalah nama tempat yang disediakan Dewata SeuwaE untuk
manusia yang taat dan patuh kepada ajaran-ajaran Toani Tolotang.[3]
c. Percaya
adanya yang Menerima Wahyu dari Dewata SeuwaE
Hal
percaya adanya menerima wahyu dari Dewata SeuwaE di kalangan penganut-penganut
tertentu keyakinan Tolotang dalam kepercayaan kepada Nabi, hanya mempergunakan
istilah bahwa ia mempercayai adanya di kalangan mereka yang pernah menerima
“Sadda” artinya suara dari Dewata SeuwaE. Dan peristiwa ini dianggapnya sebagai
suatu perintah dari Dewata SeuwaE, kepada yang menerima “Sadda” yaitu
Sawerigading. Selanjutnya pula setelah Sawerigading ini dan
pengikut-pengikutnya telah musnah sebagai manusia yang pertama maka diakui
bahwa ajaran-ajaran yang dibawanya itu dianjurkan oleh Lapanaungi.
d. Percaya
adanya Kitab-Kitab Suci
Percaya
adanya kitab suci, menurut Toani Tolotang bahwa sebagai kitab suci mereka
adalah Lontara karena di dalamnya tertera petunjuk-petunjuk tentang jaran dan
tradisi yang harus dilaksanakan oleh setiap pengikut keyakinan Toani Tolotang
yang telah diajarkan oleh Sawerigading dan Lapanaungi, Lontara itu merupakan
sebagai suatu pedoman hidup bagi mereka, sebab di dalamnya itu membicarakan ke
jadian-kejadian baik terhadap manusia maupun alam. Hal ini dapat dilihat dalam
sure’ Galigoe yang banyak mengisahkan tentang Mula Tauwe. Adapun yang
terkandung dalam lontara tersebit adalah sebagai berikut:
1) Mula
Ulona Batara Guru yang mmemuat cerita tentang rencana PatotoE menempatkan
Batara Guru di bumi yang kosong.
2) Ri
tebbanna Walenrengnge, yaitu cerita tentang keistimewaan kayu (pohon) walenreng
yang kemudian ditebang oleh Sawerigading untuk dibuat perahu.
3) Taggilinna
SinapatiE, yang menceritakan perubahan situasi dunia yang telh kosong kembali
setelah musnah dan menempatkan kkembali manusia di dunia ini.
4) Appongenna
Toani Tolotang, menerangkan tentang asala mula penganut kepercayaan Toani
Tolotang.
Selain kitab lontara yang merupakan
pedoman bagi penganut kepercayaan Toani Tolotang, masih terdapat Paseng dan
Pemali yang merupakan sumberdari ajaran-ajaran tentang nilai dan moral.
2) Rukun,
yakni;
a. Tiada
Tuhan yang patut disembah kecuali Dewata SeuwaE
b. Melakukan
kewajiban Toani
c. Memberikan
sosial (gotong Royong) sebagaimana diungkapkan “Rebba Sipatokkong mali
siparappe”.
d. Berdoa
(marellau).
2.
Kepercayaan
Amma Toa
Masyarakat
Amma Toa pola-pola tingkah lakunya terbentuk secara komulatif pada zamannya
yang lampau. Generasi di belakangnya memperoleh sebagai ide-ide tradidionalnya.
Ide-ide ini mengandung sejumlah nilai yang mempengaruhinya ketika membuat
keputusan dalam mengahadapi situasi tertentu. Dia dapat mengetahuinya oleh
karena dia mendengar dan melihat dari orang tuanya. Berapa banyak yang dilihat
dan yang didengarnya tergantung pada
nilai-nilai mana yang dihidupkan dan dipelihara dalam lingkungannya.
Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya karena mempunyai bersama dan dialihkan
bersama. Ia dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Ia mengatur kepatutan
bagi permepuan dan laki-lakinya, bagi anak-anak dann orang tuanya.
Nilai-nilai
Pasang itu diciptakan karena dimuliakan oleh leluhur mereka sebagai peletak
dasar masyarakat dan kebudayaan Amma Toa. Kemudian dialihkan turun-temurun dari
generasi ke generasi berikutnya. Dalam usaha mewariskannya mereka mansehatkan
atau memesankan nasehat dan pesan-pesan itu. Kadang-kadang berupa ungkapan,
kata-kata, hikmah, petuah, pedoman, petunjuk hidup yang diwajibkan demi
kebahagiaan dunia akhirat. Semua sifat dan tingkah laku yang dimaajukan,
memberikan bahwa ia adalah terpuji dan mulia. Pasang diwariskan turun-temurun
dari Amma Toa I dan Amma Toa kepada masyarakatnya oleh orang tua kepada anak
atau cucu, kakak kepada adiknya, suami kepada istrinya sebenarnya berfungsi
mengingatkan Pasang berarti wasiat yang dipertaruhkan tentang keharusan dan
pantangan. Orang yang memelihara/ patuh pada pasang akan selalu terpandang
kepada masyarakat, dan dicatat oleh pemangku adat kelak dapat disucikan oleh
Amma Toa di dalam hutan, dimana orang luar meneyebut naik haji (suci) yang
diadakan sekali setahun atau sekali 3 tahun atau tujuh tahun dan biasanya yang
sudah berumur lebih 40 tahun, sebaliknya mereka yang tidak mengindahkan akan
menanggung sangsi sosial yang sangat besar, namanya tercemar dan kedudukan
sosialnya menjadi rendah sehingga sukar untuk kembali buat meraih kembali nama baiknya. Pelanggaran kriminal
biasanya diserahkan biaanya diserahkan kepada yang berwajib, sedang pelanggaran
yang sifatnya bukan kriminal ditangani langsung oleh Amma Toa sendiri. Hukuman
yang diberikan sebagai berikut:
1. Cappa
babbala : hukuman ringan dengan denda 22 ringgit (real).
2. Tangnga
babbala : hukuman sedang 40 sampai 44 ringgit (real).
3. Poko
babbala : hukuman berat dengan denda 120 ringgit (real).
Kalau
ada yang mencuri maka dibakarlah passau (linggis) bila betul-betul bersalah
maka ia akan terbakar, tetapi kalau tidak bersalah maka dia akan merasa dingin
tidak merasakan apa-apa.[4]
Disamping ajaran kesederhanaan ini nampak
adanya nilai luhur antara hubungan manusia dengan Tuhannya, mereka percaya
ketidaksederhanaaan dapat membuata orang lupa akan Tuhannya. Hidup mewah
membuat manusia memilki banyak tuntunan hidup artinya membuka banyak
penyelewengan. Mereka yakin selama manusia hidup sederhana selama itu tidak akan
terjadi penyelewengan.
B. Nilai-Nilai
yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
1.
Kepercayaan
Toani Tolotang
Bagi
penganut Tolotang nilai luhur dimaksud terdapat dalam wejangan, nasehat yang
disampaikan oleh para pemimpin (Uwatta), yaitu:
a) Tattang
(konsekuen), maksudnya setiap tindakan harus dipertanggungjawabkan
pelaksanaannya. Prinsip ini mendatangkan kebaikan bukan saja untuk diri sendiri
tetapi juga berakibat baik bagi orang lain.
b) Lempu
(jujur), yang mengandung 4 unsur, yakni: lempu ri Puangnge, jujur terhadap diri
sendiri,jujur terhadap sesama manusia, dan jujur terhadap binatang dan
tumbuhan.
c) Tongeng
(benar): penganut Toani Tolotang senantiasa memegang teguh kebenaran.
d) Temmapasilaingeng
(adil): senantiasa berlatih sabar dan tabah pada tempatnya dan tidak berat
sebelah. Pelaksanaannya didasarkan atas kemampuan seseorang, dengan anggapan
bahwa semua orang dapat berbuat sama.
Selain
wejangan atau nasehat bagi penganut kepercayaan Toani Tolotang juga berpedoman
beberapa larangan dengan menjauhkan diri dari membunuh, berjudi, makan babi,
berzinah, pemerasan, penganiayaan sesama makhluk, menghina agama/ keyakinan
orang lain, mencuri dan lain-lain. Sangsinya barang siapa yang tidak
mengindahkan larangan tersebut akan mendapat hukuman dari Dewata SeuwaE, baik
di dunia maupun di akhirat atau di hari kemudian.
2. Kepercayaan
Amma Toa
Setiap
masyarakat Amma Toa semasa hidupnya berusaha menjadi patuntung (menuntungi)
yang mencari, menuntut, menghayati, mengamalkan Pasang (kalau berhasil maka ia
dapat memberikan tuntutannya kepada orang lain). Jujur, tegas, sabar, pasrah
merupakan nilai-nilai baku. Kejujuran adalah nilai yang dianggap pokok setiap
orang apakah dia manusia biasa, anggota adat, pejabat pemerintahan, petugas
agama dan sebagainya. Mereka berlomba untuk mencapai mmenuntungi, nilai luhur
yang baku itu. Kepatuntungan merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi
Amma Toa, pemangku adat, pimpinan pemerintahan dan jabatan-jabatan sosial
lainnya, serta untuk berstatus dalam masyarakat. Nilai-nilai baku tersebut
adalah:
a. Lambusunu
ji nu karaeng (karena kejujuranmu kau jadi raja).
b. Rigattangnuji
nu ada (karena ketegasannmu kau jadi adat).
c. Risabbaranuji
nuguru (karena kesabaranmu kau jadi guru).
d. Apisonanuji
nu sanro (karena kepasrahanmu kau jadi dukun).
Nilai-nilai baku tersebut melembaga dan
disebut (empat penggantung bumi dan empat penopang langit). Disamping
nilai-nilai luhur yang masih ada lagi, yaitu adil dalam pengerian ini harus
berlaku adil kepada siapapun.
C. Nilai
Luhur yang Terkandung dalam Hubungan Sesama
Dalam hal ini kewajiban
sesama manusia, meliputi:
1. Cinta
kasih terhadap sesama manusia, dapat berupa membantu yang sedang memerlukan
pertolongan, menolong yang sudah, menyumbang yang kurang, membela yang lemah
dan memberi petunjuk serta bimbingan pada kebahagiaan hidup lahir dan batin.
2. Topa
salira, maksudnya tenggang rasa satu sama lainnya
3. Ulat:
ulat dan ucap yang baik
4. Musyawarah
mufakat.
1)
Kepercayaan
Toani Tolotang
Pribadi dalam Keluarga
Penganut
keprcayaan Toani Tolotang mempunyai kewajiban terhadap sesama manusia, yakni:
a. Menolong
orang-orang yang memerlukan pertolongan
b. Memberikan
petunjuk-petunjuk kepada orang-orang tersesat, dala bahasa bugis “Patiroangngi
deceng padamu rupa tau” artinya: memberikan petunjuk yang baik kepada sesama
manusia.
c. Sieloreng
madeceng tessieloren maja ripadaat rupa tau” aartinya saling menginginkan
kebaikan dan tidak menginginkan kejelekan terhadap sesama manusia.
Bagi
masyarakat Toani Tolotang, mendidik anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dalam bahasa bugis “tomatoanna jellorengi laleng anak na mangolo ri puangnge”,
artinya orang tuanyalah yang berkewajiban menunjukkan jalan kepada anaknya
untuk menghadapkan diri kepada Dewata SeuwaE.
Pribadi dalam
Masyarakat
Dalam ajaran Toani Tolotang,
sehubungan dengan hubungan terhadapa sesama manusia, dapat kita lihat pada
“Tudang Sipulung” maksudnya duduk berkumpul untuk melakukan upacara ritual
tertentu guna memohon keselamatan bersama atas terjadinya suatu malapetaka dan
keadaan kritis. Biasanya upacara tudang sipulung dilakukan pada malam hari.
Adapun tata cara pelaksanaan ibadah Toani Tolotang “Tudang Sipulung”
(musyawarah), meliputi:
a. Sipulung
Pattaungeng.
Pelaksanaan Sipulung
Pattaungeng dilakukan bilamana akan panen, setiap tahunnya di rumah Uawatta
selama sehari semalam sebagai suatu kewajban bagi para penganutnya sebagai
tanda syukur kepada Dewata SeuwaE atas nikmat atas nikmat yang diberikan
terhadap hambanya.
b. Sipulung
Norem Pine.
Dilaksanakan apabila
tiba waktunya akan menghambur bibit, maka diadakan musyawarah (sipulung)
membicarakan bibit apa yang cocok ditanam tahun yang bersangkutan, juga
dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar waktunya dapat berhasil.
c. Tudang
Sioesso (Duduk sehari)
Dilakukan apabila ada hal penting
yang terjadi dalam kampung, misalnya tanaman diserang hama, penyakit
merajalela, dilanda kekeringan dan lain sebagainya. Maksudnya tudang siesso
adalah berdoa kepada Dewata SeuwaE agar peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kampung tidak berkepanjangan.
Selain
itu ada juga kegiatan lain yaitu
“sipulung” artinya berkumpul, yakni sejenis upacara ritual tertentu sekali
setahun di sekitar kuburan I Pabbere di Parri Nyameng. I Pabbere adalah
pemimpin rombingan Toani yang hijrah dari Wani Kabupaten Wajo ke Amparita
Kabupaten Sidenreng.
Pribadi
dalam Hubungan dengan Pemimpin/ Negara/ Bangsa
Dalam
kesempatan berjumpa Uwa Laja, didalam hubungan pribadi penganut Toani Tolotang
dengan pemimpin/negara/bangsa, dijelaskan bahwa pemerintah bertugas mengurusi
negara dan bangsa yang mnegurusi kita untuk mencapai tujuan negara kita.
Baginya merupakan suatu kewajiban dalam
menaati perintah oleh para pemimpin dalam segala hal, misalnya di bidang
pertanian, pajak dan lain-lain.
2)
Kepercayaan
Amma Toa
Pribadi
dala Keluarga
a. Pembinaan
keluarga sejahtera
b. Ketentraman
budi luhur dan batin
c. Kesempurnaan
hidup di dunia dan akhirat
d. Manunggal
dalam kenyataan Tuhan.
Pribadi
dalam Masyaraka
a. Abbulo
sipappa, alemo sibatu
b. Sallu
riajoa mulu ri adahang
c. Tallang
sipahua, manyu siparampe
d. Mate
siroko, bunting sipabasa
Nilai
luhur yang terkandung didalamnya ialah, gotong-royong, kesatuan, persatuan,
keadilan sosial. Disisni kita dapat melihat bahwa masyarakat Amma Toa adalah
Pancasila.
Pribadi dalam hubungan
dengan Pimpinan Negara /bangsa
Bagi
masyarakat Amma Toa kepatuhan kepada pemerintah telah dibuktikan pada
perlawanan dengan DI/TII karena pemerintah memusuhi DI/TII masyarakat tersebut
juga mengadakan perlawanan. Kepatuhan tersebut dinyatakan dalam pasang. Mereka,
pemerintah adalah Tuhan yang terdekat di dunia, yang selalu memikirkan kepentingan
rakyat kecuali dalam tidur.
D.
Nilai-Nilai lLuhur yang Terkandung
dalam Hubungan Manusia dengan Alam
1.
Kepercayaan
Toani Tolotang
Sebagaimana
diketahui bahwa alam ini diciptakan oleh Dewata SeuwaE untuk tempat bagi
seluruh makhluk terutama manusia sebagai wakil Dewata SeuwaE di dunia.
Kepercayaan yang demikian dapat kita lihat dari berbagai wejangan, nasehat atau
pasang serta larangan-larangan yang erat kaitannya dengan alam, misalnya dalam
lontara disebut “Itebbanna Welenrsngnge” dimana PatotoE melarang memusnahkan
alam, yang berbunyi “Jangan merusak kayu-kayuan atau binatang”. Ini didasarkan
pada waktu ditebangnya pohon welenrengnge sehingga PatotoE sangat murka
terhadap perbuatan itu.
Pengetahuan
alam atau flora oran bugis, amat banyak sesuai dengan tingkat berpikir mereka
secara totalitas. Satu hal yang masih
cukup mendapat perhatian di kalangan orang Bugis termasuk masyarakat Toani
Tolotang, yang sehubungan dengan binatanga yakni kucing, kucing adalah binatang
piaraan yang dianggap suci oleh penduduk sehingga harus diperlakukan secara
wajar, terutama kaum tani.
Sehubungan
dengan alam fauna, maka berbagai obat dan cara pengobatan mulai dikenal sejak
adanya peradaban manusia yang dikaitkan dengan kepercayaan dan kekuatan gaib
nenek moyang. Berbagai ramuan obat untuk menyembuhkan penyakit.
2. Kepercayaan
Amma Toa
Dalam
kepercayaan Amma Toa terdapat atu anggapan bahwa alam raya ini sifatnya sakral
dan memilki nilai spiritualnya sendiri, sebagaimana tercermin dalam aneka agama
asli. Dalam pelaksanaan budi luhur, tidak hanya melakukan mawas diri saja
tetapi harus disertai dengan mawas alam, mmawas sesama luhur. Dalam pengertian
sederhana, mawas alam adalah tindakan kita dalam usaha melestarikan alam yang
dianugerahkan Tuhan YME kepada kita. Alam hendaknya dilestarikan agar dapat
dimanfaatkan untuk menunjjang hidup manusia dmeikian pula dalam penerapan
manfaat terhadap alam dan lingkungan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
To Lotang
menurut bahasa Bugis artinya adalah 'orang selatan'. Zaman dulu, masyarakat ini
sering mengungsi dari satu daerah ke daerah lain di Sulawesi Selatan. Setelah
berkali-kali mengungsi, pada 1609, masyarakat dengan sistem kepercayaan ini
menetap di Amparita berkat perintah dari Raja Sidendreng. Sistem kepercayaan To
Lotang didirikan oleh La Panaungi. Kepercayaan ini ada karena pendirinya
mendapatkan ilham dari Sawerigading. Sawerigading adalah jenis kepercayaan yang
memuja Dewata SawwaE. Kitab suci bagi penganut sistem kepercayaan ini adalah La
Galigo. Dan terdapat empat ajaran budi luhur di dalamnya yakni, nilai yang
terkandung dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan diri
sendiri, dengan sesama, dan dengan alam.
[1]
Lamuddin Nur, Pandangan
Golongan Tolotang di Kapbupaten Tingkat II Sidenreng Rappang terhadap agama
Islam ( Jakarta: Skripsi IIP , 1980), hal.
21.
[2]
Syukri Asaf Dalle, Toani Tolotang di Kabupaten Sidenreng
Rappang , (Skripsi IAIN Alauddin UP, 1982), hal. 56.
[3]
Ibid., hal. 61.
[4]
Rahman Rahim, “Nilai-Nilai
Utama Kebudayaan Bugis”, (Unhas, tt), hal. 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar