Apakah Filsafat itu?
Banyak orang
mengira bahwa filsafat itu tidak dapat atau sulit dimengerti oleh rakyat biasa,
dan merupakan salah satu mata kuliah yang paling sulit dan abstrak di dalam
perguruan tinggi. Dengan kata lain, filsafat itu di pandang sebagai sesuatu
yang tak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari. Padahal tidak demikian. Pada setiap hari dapat kita jumpai
jejak-jejak atau potongan-potongan fikiran filsafat.
Si A yang sudah
puluhan tahun merantau diluar negeri pada suatu waktu berkenan untuk pulang ke
tanah air Indonesia. Begitu tiba di Jakarta ia dikejutkan dengan wajah betawi
yang baru sama sekali baginya, sehingga ia tidak mengenali lagi kampung-kampung
yang ia tempati puluhan tahun yang lalu. Jalan-jalan kini lebar- lebar dan licin,
bermalang melintang dan penuh dengan berbagai kendaraan bermotor yang
membisingkan, gedung-gedung pencakar langit pun menjulang disana-sini dengan
aneka lampu neon yang memberikan pandangan indah pada malam hari, banyak pusat
pusat perbelanjaan, Super market atau plaza disamping pasar loak dan kaki lima.
Pendek kata, betawi sekarang tidak jauh beda dengan kota-kota besar di Eropah
dan amerika sana, walaupun nampak sangat jorok dengan tumpukan sampah
dimana-mana, yang tak pernah dijumpainya di jaman kolonial. Tetapi yang lebih
mengejutkan dan juga membanggakan ialah bahwa penguasa kolonial telah tidak ada
lagi,penguasa bangsa sendiripun ternyata mampu menjalankan roda pemerintahan.
Polisi dan tentara juga tidak kalah galak dan bengisnya dari pada polisi dan
tentara di jaman kolonial. Ketika ia ditengah tengah kerabatnya ia mendapati
kenyataan banyak diantara mereka yang sudah meninggal dan ada yang menjadi
pembesar dan kaya raya, dst.
Hasil pengamatan
seperti ini telah memberikan kesan yang mendalam kepadanya bahwa segala sesuatu
itu berubah, tidak langgeng. Dan fikiran bahwa SEGALA SESUATU ITU BERUBAH,
TIDAK LANGGENG ini adalah sepotong pikiran filsafat, menurut ilmu filsafat
inilah fikiran dialektis, yang merupakan bagian dari suatu sistim filsafat dialektika.
Mari kita
lanjutkan contoh diatas tadi. Pada suatu ketika si A tadi yang setalah beberapa
waktu kembali ke tanah air, memperhatikan lebih dalan kehidupan rakyat kecil,
kehidupan kaum buruh, kaum tani dan kaum miskin di perkotaan, serta pengrajin
dan nelayan, dan mengetahui bahwa nasib mereka tetap miskin dan sengsara.
Dilain pihak, ia melihat pemilik-pemilik modal raksasa asing (kaum Imperialis)
masih tetap merajalela dan bahkan menguasai kehidupan perekonomian dan keuangan
Indonesia walaupun pemerintahan kolonial sudah tidak ada lagi. Kenyataan-
kenyataan yang keras ini telah memberikan suatu kesan padanya bahwa segala
sesuatu TETAP TIDAK BERUBAH, SEMUA TETAP DAN LANGGENG. Pikiran semacam inipun,
merupakan sepotong fikiran filsafat. Dan dalam ilmu filsafat ini dikenal dengan
pikiran stastis, merupakan sebagian dari sistim filsafat metafisika, dalam
pengetian non- dialektis.
Dari contoh
diatas dapat kita ketahui dengan jelas bahwa suatu fikiran filsafat itu
dilahirkan dari fikiran-fikiran yang hidup dalam perjuangan manusia sehari-hari
untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya dan mempertinggi martabat
kemanusiaan. Sungguhpun demikian, fikiran filsafat tidaklah sama dengan fikiran
yang hidup sehari-hari. Diantara keduanya terdapat perbedaan kwalitas atau
sifat. Sebagaimana yang kita ketahui dari contoh diatas itu, bahwa pikiran
sehari-hari itu adalah KHUSUS dan KONGKRIT, misalnya “wajah jakarta berubah”,
“keadaan politik di Indonsia berubah”, “nasib kaum tani dan buruh di indonesia
tetap miskin dan sengsara”, “penanaman modal asing di Indonesia semakin besar”,
dsb. Sedangkan pikiran filsafat, yang merupakan penyimpulan dari
pikiran-pikiran sehari-hari yang mencerminkan kenyataan-kenyataan khusus dan
kongkrit, dan bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Kembali pada
contoh diatas. bahwa si A pada situasi tertentu timbul kesan : “segala sesuatu
senantiasa berubah”, tapi pada situasi lain timbul kesan sebaliknya. Lalu
bagaimana sebenarnya, apakah segala sesuatu itu berubah atau tidak berubah ?
Bagi si A yang tidak pernah belajar filsafat atau tidak punya pegangan pada
suatu sistim filsafat tertentu, sudah tentu menjadi bingung dan tidak dapat
menjawabnya, dan ia akan selalu diombang-ambing oleh perkembangan situasi.
DISINILAH LETAK SALAH SATU ARTI PENTING DARI HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN KEHIDUPAN
KITA SEHARI-HARI, APA LAGI BAGI KAUM PROGRESIF-REVOLUSIONER.
Mungkin ada kawan
yang mengatakan bahwa kenyataan menunjukkan, orang yang tidak belajar filsafat
atau tidak memiliki sistim filsafat tertentu toh juga bisa hidup. Memang, tidak
memiliki sistim filsafat tertentu bukan berarti tidak bisa hidup, tapi hidupnya
akan selalu dalam keadaan meraba-raba atau terombang-ambing oleh keadaan. Lagi
pula banyak orang, secara tak sadar memegang sebuah sistim filsafat tertentu,
misalnya mereka yang patuh menjalankan ajaran agamanya, sudah mengandung sebuah
sistim filsafat tertentu. Demikian juga bagi mereka yang yakin bahwa nasibnya
sudah ditentukan hanya oleh Yang Maha Esa, sehingga menerima apa saja adanya,
maka secara tidak sadar ia telah berpegang pada fatalisme, bagi mereka yang
hidup tanpa pegangan filsafat tertentu, sadar atau tidak selain mudah
terombang-ambing oleh keadaan, juga mudah terjerumus ke dalam dunia mistik atau
dunia spekulatip, yang tak lain adalah perjudian, yang lebih banyak kegagalan
daripada keberhasilan, ia suka bersikap avonturis atau labil
Mengapa sebuah
sistim filsafat dapat memberi pedoman hidup pada kita ? Sebagaimana yang
dikemukakan diatas bahwa fikiran filsafat yang merupakan penyimpulan dari
fikiran sehari-hari yang khusus dan kongkrit adalah bersifat hakiki, umum dan
abstrak. Oleh karena itu maka fikiran-fikiran filsafat dapat memberikan
petunjuk kepada kita untuk mengenal hal-hal yang khusus dan konkrit yang selalu
kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
pikiran-pikiran filsafat yang dilahirkan dari berjuta-juta manusia dalam
perjuangan hidupnya sehari-hari, maka para filosof, menurut keyakinannya
masing-masing mengadakan penelitian dan seterusnya menyusun sistim filsafat
tertentu yang lengkap dan konsisten. Dengan perkataan lain suatu sistim
filsafat mencerminkan keadaan dunia semesta ini (alam masyarakat dan pikiran)
secara menyeluruh, mendasar dan umum, atau sebuah sistim filsafat itu
menyatakan keadaam dunia secara teori; dan dengan teori itu kita gunakan untuk
memecahkan masalah-masalah konkrit dan khusus yang kita hadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
Sudah tentu,
filsafat itu mengalami perkembangan. Bermula pada jaman Yunani kuno, filsafat
sudah mencakup segala macam pengetahuan bahkan segala macam keterampilan, semua
seni dan kerajinan tangan (art and craft), sehingga filsafat pada saat itu
mengandung arti: suka mengejar segala macam keterangan, pengetahuan dan
kebijaksanaan, hingga merupakan bidang yang sangat luas. Dengan makin
berkembangnya pengetahuan manusia terhadap dunia sekelilingnya, maka timbulah
spesialisasi dalam pengetahuan, terciptalah berbagai macam ilmu pengetahuan
khusus, alam ataupun sosial. Akibatnya pengetahuan-pengetahuan satu demi satu
keluar dari bingkai filsafat dan memasuki cabang-cabang ilmu khusus
masing-masing. Filsafat alam masuk ke dalam ilmu alam, filsafat hukum masuk ke
dalam ilmu hukum, filsafat sejarah masuk ke dalam ilmu sejarah dsb. Dan yang
terakhir yang keluar dari filsafat adalah ilmu psikologi. Lalu apakah yang
masih tertinggal dalam ilmu filsafat ? Yang tertinggal adalah cara berpikir
atau metode berpikir. Sungguhpun demikian sampai sekarang filsafat masih
mempertahan lima subyek persoalan yang diakui oleh umum yaitu: etika, politik, logika,
estetika dan metafisika. Secara umum ilmu filsafat adalah suatu bidang studi
tentang saling hubungan antara pikiran manusia atau dunia subyektif dengan
keadaan di sekelilingnya atau dunia obyektif.
Masalah terpokok dalam Filsafat
Seperti yang
telah dikemukakan bahwa filsafat adalah studi tentang hubungan antara fikiran
manusia dan keadaan sekelilingnya, antara dunia subjektip dan dunia objektip.
Dalam hubungan antara pikiran atau ide manusia dan keadaan atau kenyataan di
sekelilingnya itu, sudah tentu banyak terdapat persoalan. Tetapi diantaranya,
yang paling pokok dan mendasar adalah antara fikiran dan keadaan atau antara
ide dan materi, yang manakah yang lebih dahulu. Ini menjadi masalah yang
terpokok dan paling mendasar, karena setiap sistim filsafat atau pandangan
dunia, mau tak mau harus menjawab hal ini. Dan jawabannya adalah menjadi
pangkal tolak pandangan filsafatnya.
Dalam dunia
filsafat terdapat banyak macam aliran atau sistim filsafat, tetapi jawaban
terhadap masalah pokok ini terbagi dalam dua kubu sistim filsafat yang besar.
bagi mereka yang berpendapat bahwa pikiran atau ide ada terlebih dahulu atau
primer dan keadaan atau materi adalah sekunder, karena dilahirkan atau
ditentukan oleh pikiran, maka mereka tergolong dalam kubu IDEALISME. Misalnya
mereka yang mengatakan : sebelum gedung pencakar langit itu ada, terlebih
dahulu ia sudah ada didalam otak sang insinyur yang merancang pembangunannya.
Kemudian idenya itu dituangkan dalam gambar cetak biru dan akhirnya dibangunlah
gedung itu berdasarkan gambar tadi. Jadi gedung itu adalah perwujudan kongkrit
dari ide yang sudah ada lebih dahulu. Demikian pula sebelum Indonesia merdeka,
ide atau gagasan tentang indonesia itu sudah ada lebih dahulu dalam pikiran
pejuang nasional kita, di dalam pikiran rakyat indonesia.
Sebaliknya mereka
yang berpendapat, bahwa keadaan atau materi itu primer dan pikiran atau idea
itu sekunder, tergolong dalam kubu MATERIALISME. Terlihat misalnya, bahwa
keadaan penghidupan manusia yang membutuhkan tempat berteduh telah melahirkan
ide dialam pikirannya untuk membangun rumah. Oleh karena di dalam kota-kota
besar jumlah penduduk membesar, maka kebutuhan tanah untuk perumahan akan makin
besar pula, sehingga harga tanah akan membumbung tinggi, dan keadaan ini yang
menimbulkan ide untuk membangun rumah bertingkat. Demikian juga idea tentang
Indonesia merdeka dilahirkan oleh keadaan hidup bangsa dan rakyat Indonesia
yang menderita karena penindasan dan penghisapan kolonialisme. Jadi idea atau
pikiran itu tak lain adalah pemurnian atau refleksi keadaan atau kenyataan yang
material.
Dua kubu besar
filsafat itu, Idealisme dan materialisme, sejak dari dulu kala sampai sekarang,
saling berlawanan dalam segala pandangannya, justru karena jawaban mereka
terhadap masalah terpokok tersebut berlawanan. Dengan perkataan lain titik
tolak pandangan mereka bertentangan satu sama lain, masing-masing berkeras
mempertahankannya. Oleh karena itu, sejarah filsafat pada dasarnya adalah
sejarah perjuangan antara materialisme dan Idealisme. Pengalaman sejarah selama
ini menunjukkan, pada umumnya, bahwa materialisme selalu mewakili pandangan
dunia klas yang maju, sedangkan idealisme mewakili pandangan dunia klas yang
reaksioner. Ketika borjuasi Eropah melawan kekuasaan feodal, mereka mengangkat
materialisme sebagai senjata perlawanan mereka. Misalnya borjuasi Perancis
mengibarkan tinggi-tinggi materialisme sewaktu menjelang revolusi besar
perancis (1789). Tetapi setelah revolusi demokratis borjuis menang dan kaum
borjuis naik tahtah, mereka melemparkan materialisme dan mengibarkan kembali
idealisme yang tadinya menjadi senjata ideologis klas feodal. Kini materialisme
umumnya menjadi senjata ideologi dari klas dan rakyat revolusioner dalam
perjuangannya untuk demokrasi dan kebebasannya, dan idealisme menjadi senjata
ideologi dari klas dan penguasa yang reaksioner dan kontra revolusi, anti
demokrasi dan anti rakyat.
Diantara dua kubu
besar filsafat yang bertentangan keras itu, terdapat suatu aliran filsafat yang
kelihatannya sebagai aliran ketiga atau non-blok, tidak berpihak pada
monoisme-idealis ataupun monisme-materialis. Mereka berpendapat bahwa antara
ide dan materi, antara pikiran dan keadan kongkrit, tak ada yang primer atau
sekunder, tak ada yang satu menentukan keadaan yang lain, masing masing saling
mempengaruhi. Pendek kata kedua kubu itu “ko-eksistensi secara damai “. Aliran
ini dalam ilmu filsafat disebut DUALISME. Tokohnya yang terkenal adalah
Immanuel kant, bapak filsafat klasik jerman abad 19.
Kantianisme ini
nampak jelas hendak menempuh jalan kompromi, “jalan tengah”, tak mau
membenarkan atau berpihak pada manapun, berdiri ditengah-tengah kedua belah
bihak yaitu antar materialisme dan idealisme. Padahal ia adalah bagian dari
salah satu bentuk idealisme, karena pandangan yang menjadi titik tolaknya
adalah karangan idea subjektifnya, tidak sesuai dengan kenyataan objektip.
Pandangan yang idealis ini banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari,
malahan juga masih terdapat dalam kelompok kaum progresip ataupun yang
revolusioner. Misalnya tidak sedikit mereka dapat menerima materialisme , tapi
di pihak lian masih belum bisa melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan idealisme
(mistik, tahyul dsb) dan banyak diantaranya akhirnya melepaskan materialisme
dan jatuh sepenuhnya dalam jurang-jurang idealisme itu.
Sudah tentu dalam
kubu idealisme terdapat berbagai aliran atau cabangnya, tapi pada pokoknya
dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan pangkal atau titik tolak
pandangannya. Golongan pertama, IDEALISME OBJEKTIF, yaitu mereka yang
berpangkal tolak dari ide yang secara objektip ada diluar manusia, misalnya,
ide Tuhan menurut filsafat agama dan ide absolut menurut filsafat Hegel.
Golongan ini umumnya berpendapat, misalnya adanya kehidupan dan alam semesta
karena perwujudan dari ide Tuhan sang pencipta. Dalam kehidupan keseharian,
fikiran filsafat semacam ini kita jumpai antara lain misalnya :” apa mau
dikata, nasibku memang sudah ditakdirkan demikian “ dsb.
Golongan kedua
adalah IDEALISME SUBJEKTIF, ialah mereka yang berpendapat bahwa ide subjektip kita
manusia menentukan keadaan dunia sekeliling. Tokoh yang terkenal adalah Bishop
George Berkeley, seorang filsuf Inggris yang menyangkal adanya dunia material
secara objektip. Dalam kehidupan keseharian dapat kita jumpai misalnya: “
keadaan dunia ini tergantung dari suasana hatimu, bila hatimu bahagia, dunia
ini menjadi cerah, tapi bila hati muram, maka dunia menjadi gelap gulita”; “
Dunia menjadi hitam jika kamu memakai kaca mata hitam, tapi ia akan menjadi
semarak jika mengenalkan warna merah.”
Dalam kubu
materialisme pun terdapat aneka ragam aliran yang pada pokoknya dibagi menjadi
dua golongan. Tetapi, berbeda dengan pembagian dalam kubu idealisme yang
berdasarkan pada titik tolak pandang, maka dalam kubu materialisme ini
berdasarkan pada metode berpikirnya. Sebab titik pangkal tolak pandangannya
adalah sama ialah dunia kenyataan material yang berada disekeliling kita. Tapi
karena cara atau metode memandangnya berbeda, maka hasilnyapun berbeda.
Golongan pertama adalah MATERIALISME DIALEKTIS, yaitu filsafat yang memandang
dunia semesta ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong atau berat
sebelah, tidak beku atau statis, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang
terus menerus tiada akhirnya. Fikiran-fikiran materialisme dialektik inipun
dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada
malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb.
Semua fikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa
berkembang.
Golongan lainnya
adalah MATERIALISME METAFISIK, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong
atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Fikiran-fikiran berazaskan
golongan ini misalnya:”sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah
ditakdirkan, tidak bisa berubah.
Titik pandang, Metode berpikir
dan asal-usul klas
Dari uraian
diatas dapat kita ketahui, bahwa setiap sistim filsafat atau pandangan dunia
mempunyai dua unsur fundamental, yakni titik tolak atau pangkal pandangan dan
metode berpikir Suatu sistim filsafat yang dapat mencerminkan secara tepat
keadaan dunia objektip disekeliling kita sudah tentu harus memiliki titik
tolak-pangkal pandangan dan metode berpikir yang tepat. Persoalannya sekarang
ialah : Apa titik tolak-pangkal pandang yang tepat itu dan bagaimana metode
berpikir yang tepat itu ?
Sudah dikemukakan
bahwa titik tolak pandang pada dasarnya ada dua : Idealis dan materialis. Dari
contoh-contoh yang diberikan masing-masing mempunyai alasan yang cukup kuat
untuk mengklaim dirinya benar. Sudah tentu tidak mungkin keduanya benar atau
salah, kecuali kalau kita menganut dualisme. Diantara meraka pasti hanya ada
satu yang benar. Yang manakah ? Idealis atau materialis ?
Titik tolak
pandangan yang benar adalah yang berdasarkan pada kenyataan objektip
sebagaimana adanya , tanpa diberi bumbu subjektip sedikit pun , harus
berdasarkan hasil-hasil studi dan penelitian ilmiah dari data dan fakta dunia
objektip di sekeliling, harus berdasarkan penyimpulan-penyimpulan ilmiah dari
pengalaman praktis perjuangan rakyat dalam proses produksi dan revolusi.
Sekali-kali jangan berdasarkan terkaan-terkaan subjektip dan spekulatip, atau
main “sekiranya mesti Begini”. Sebagai sebuah ilustrasi :
‘Pada suatu waktu
si kelinci sedang asik bermain dengan temannya, tiba-tiba ia berlari sambil
berteriak “Api !”, diikuti temannya mengejar dibelakang. Si kambing yang sedang
merumput melihat kelinci berteriak sambil berlari, berpikir dalam benaknya
“kobaran api melahap hutan dengan mengerikan”, maka ia segera melompat dan
mengajak anak-anaknya untuk lari dan berteriak keras-keras “Api-Api !! “ dan
semua penghuni hutan yang melihat mereka berlari ikut berlari, tanpa banyak
tanya. Dan bertemulah mereka dengan si Kancil yang menghentikan mereka dan
bertanya sampai sejauh mana api menjalar dan tak satu pun yang dapat menjawab.
Si kancil pun mengusut dan akhirnya bertanya pada kelinci, si kelinci menjawab
bahwa ia semula bermain dengan temannya yang sedang menjadi lakon “api”, dan
setelah melihat sikambing lari terbirit-birit dan berteriak “Api” maka kelinci
mengira ada kebakaran sungguhan. Kancil tertawa dan mengajak mereka melihat
kebelakang “kalau ada kebakaran tentu ada asapnya mengepul. ternyata tidak ada
sedikitpun asap”.
Dongeng ini
menunjukkan bahwa si kelinci, kambing dsb., dalam menghadapi persoalan
(kenyataan objektip) bertitik tolak dari dugaan, interprestasi, perkiraan
subjektip, sedang si kancil bertitik tolak pada kenyataan objektip, sebagaimana
adanya, bebas dari segala dugaan, dari tafsiran subjektif. Dongeng- dongeng
seperti ini banyak kita jumpai.
Yang paling parah
adalah pembumbuan subjektip yang sesungguhnya sangat berbahaya dalam
perjuangan. Cara atau metode berpikir yang benar tidak dapat dilepaskan dari
pangkal pandangan yang benar, dengan perkataan lain, metode berpikir yang benar
itu adalah metode yang sesuai dengan kenyataan objektip. Karena kenyataan
objektip itu bergerak dan berkembang, maka kita harus memandangnya secara
dinamis, mengikuti gerak dan perkembangannya. Oleh karena kenyataan itu punya
banyak segi, maka kita harus berusaha mengenal segala seginya. karena kenyataan
objektip mempunyai saling hubungan internal (antar bagian-bagiannya ) dan
hubungan eksternal( antar kenyataan itu dengan kenyatan-kenyataan yang lain
disekitarnya), maka kitapun harus menelitinya. hanya dengan cara demikian kita
baru bisa mengenal atau mencerminkan kenyataan itu sebagaimana adanya, tanpa
ada sedikitpun unsur subjektip di dalamnya. Inilah metode berpikir dialektika
materialis. Inilah metode ilmiah yang digunakan oleh para ilmuan dalam ilmu
alam maupun Sosial.
Jika dunia yang
bergerak ini kita pandang sebagai hal yang diam atau statis, kita akan
menganggap sebagian kenyataan sebagai keseluruhan kenyataan, kenyatan yang
saling berhubungan kita anggap terpisah-pisah, maka kita tidak dapat memahami
kenyataan itu sebagaimana adanya atau secara tepat. Cara atau metode berpikir
yang semikian kita sebut metode berpikir metafisika dalam pengertian
non-dialektik.
Kita yang percaya
pada perubahan radikal dan revolusioner, menjadi harus dengan teguh dan
konsisten serta ilmiah menggunakan metode berpikir yang dialektik materialis.
dalam menghadapi apapun dan kondisi yang bagaimanapun.
Setiap orang
mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat berkelas ia
tergolong ke dalam dan mempunyai kepentingan klas tertentu. Keadaan ini sangat
mempengaruhi pikiran dan panda- ngannya., dengan perkataan lain, asal-usul klas
seseorang ikut menentukan pandangan klasnya. Oleh karenanya ,walaupun seseorang
mempunyai pandangan filsafat yang benar, tapi bila hasilnya itu ternyata
bertentangan dengan kepentingan klasnya, maka kaum borjuis, mereka dihadapkan
pada suatu pilihan : menghianati klasnya atau melepaskan pandangan filsafatnya
yang benar itu. Kalau ia hendak mempertahankan kepentinagan klasnya ia tak
dapat secara konsisten mempertahankan sistim pandangan filsafatnya yang benar
itu.
Kaum Borjuis
Eropa ketika sebagai klas tertindas (walaupun ia juga bagian dari klas yang
ikut menghisap tenaga kerja orang lain), sebagai klas yang progresip dan
revolusioner, melawan kekuasaan feodal, mempersenjatai diri dengan materialisme
(sekalipun materialisme perancis pada abad 18 adalah materialisme mekanis).
Tetapi sewaktu kaum borjuis ini berkuasa mereka menjadi penindas dan penghisap
klas pekerja dan menjadi klas yang reaksioner atau kontra revolusi. Mereka
berbalik mengibarkan panji- panji idealisme. Dalam hal-hal tertentu , kaum
borjuis misalnya menggunakan pandangan dan metode ilmiah atau materialisme
dialektik terhadap gejala alam dan tehnologi, karena penguasaan terhadap
tehnologi dan alam itu sesuai dengan kepentingan mereka. Tetapi mengenai
gejala-gejala sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah mereka tidak konsisten
menggunakan titik pandang dan metode yang ilmiah lagi. Mengapa ? Tidak lain
karena materialisme dialektis akan mengungkapkan kenyataan masyarakat kapitalis
apa adanya, dimana terdapat penghisapan modal (kapitalis) terhadap tenaga
kerja, penghisapan klas kapitalis terhadap klas buruh dan rakyat pekerja
lainnya, terhadap kepincangan- kepincangan dan stagnasi yang menghambat
perkembangan masyarakat untuk lebih maju. Dan hanya klas pekerja yang mampu
mengubur sistim sosial kapitalisme dan akan membawa manusia ke tingkat yang
lebih tinggi, masyarakat adil dan makmur, yang bebas dari kemiskinan dan segala
macam ketidak adilan, bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Semua
itu tentu saja tidak akan menguntungkan klas kapitalis. Maka mereka sangat
memusuhi dan selalu menyebarkan idealisme menyesatkan yang membohongi rakyat
pekerja. Sebaliknya Filsafat materialisme dialektik yang dapat mencerminkan
kenyatan dengan objektip menjadi senjata paling ampuh bagi rakyat yang
tertindas dalam perjuangan untuk pembebasan mereka.
Jadi untuk dapat
memiliki suatu sistim filsafat yang tepat, tidak hanya titik tolak dan metode
yang tepat dan benar, tapi juga mempunyai pendirian klas yang tetap, artinya
keberpihakan terhadap klas yang paling tertindas yaitu klas pekerja. Untuk
dapat memilikinya dan mempertahankan dengan konsisten : pangkal pandang, metode
berpikir, dan pendirian klas yang tepat, tidak hanya cukup belajar memahami dan
menguasai materialisme dialektika, tapi yang lebih penting: ikut ambil bagian,
aktif dalam kerja untuk perjuangan klas yang paling tertindas secara aktual.
Hanya dengan ikut serta langsung dalam proses perjuangan kita dapat memahami,
menguasai, mempertahankan secara konsisten pandangan filsafat yang tepat dan
benar ini.