Sawerigading
Fachruddin
Ambo Enre,dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge (1993),
mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskahSure’Galigo, yaitu sebagai naskah
mitos dan legenda, sebagai naskahsejarah dan sebagai karya sastra.
Pendapat yang
menyatakan sebagai mitos dan legenda cukup beralasan sebab dalam cerita
tersebut terdapat ciri-ciri ceerita yang berkaitan dengan mitos penciptaan oleh
dewa di langit dengan mengirim anaknya Batara Guru dan We Nyilitomo ke bumi.
Batara Gurulah yang menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau. Menyusuli
kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti : ubi, ke;adi, pisang, tebu dan
lainnya. Kekuatan supernatural yang dimiliki para tokohnya, seperti naik ke
langi, turun ke peretiwi, atau menyeberang ke maja [ dunia roh ], kemampuannya
meredakan angin ribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati
dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan aspek budaya
lainnya merupakan ciri-ciri cerita mitos yang umum.
Pandangan
yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai legenda didasarkan pada
benda-benda alam yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading, seperti Bulupoloe
di dekat malili, dikatakan sebagai bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah
karena ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya
Batu cadas di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut
sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora, daerah
mangkedek, tanah Toraja terdapat batu yang dianggap penjelmaan We Pinrakasi,
isteri Sawerigading yang meninggal dalam keadaan hamil yang dijemput oleh
Sawerigading di dunia roh.
Setiba
kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama
Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma menjadi batu. Gunung batu di daerah
Bambapuang [ Enrekang ], yang dari jauh nampak sebagai anjungan perahu,
dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong besar yang
terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa berlayar
dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula kepingin perahu yang
terdapat di Bontote’ne dianggap perahu Sawerigading.
Pandangan
yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading mempunyai nilai sejarah, yaitu adanya
kronik di Bone, Soppeng yang menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah
Tomanurung yang bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum
bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La Galigo dan
Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah raja-raj di Sulawesi Selatan
[Lontara Pangoriseng], di puncak silsilah itu terdapat tokoh-tokoh La Galigo,
Sawerigadin, Batara Lattu’ dan Batara Guru. Menurut Mills, yang menciptakan
silsilah itu raja-raja itu sendiri untuk memperoleh legitimasi magis-religius
yang menurut dugaan meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak
menyebut
tokoh Sawerigading sebagai
tokoh sejarah , tetapi mereka mengklaim bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada,
walaupun sebagian besar ceritanya adalah fiksi. Cerita Sawerigading dianggap
sebagai karya sastra oleh beberapa tokoh antara lain Raffles, Matthes, R.A. Kern, A. Zainal Abidin Farid, cerita
Sawerigading adalah sastra kuno yang dianggap suci oleh Bugis tetapi bukan
sejarah. Demikian pula Fachruddin menganggap Sure’ Galigo adalah sastra suci.