Rabu, 08 Mei 2013

REFLEKSI JIWA BERTAUHID


REFLEKSI JIWA BERTAUHID
(Pemahaman Menuju Tauhid Irfani)


Pengetahuan kita tentang sesuatu mengambil dua bentuk personal dan universal atau dengan kata lain empirisal dan metafisis. Demikian pula mengenai ma’rifah tentang Allah juga mengambil dua bentuk, yaitu ma’rifah hushuliyah dan ma’rifah hudhuriyah. Yang pertama melalui bukti-bukti kosmologis dan yang kedua menurut Ayatullah Taqi Misbah Yazdi (seorang ulama dan filosof Iran kontemporer) tidak diajarkan atau dipelajari sebagaimana pembelajaran konvensional melainkan melalui perjalanan ruhani.
Dalam kajian ilmu Tauhid dalam kerangka filosofis kita mengenal pembagian Tauhid dalam tiga kerangka konsepsi, yaitu Tauhid Zati, Tauhid Sifati, dan Tauhid Amali. Sehubungan dengan tema sentral kita, yaitu Tauhid Irfani (dalam kerangka teoritis), maka dikonteks ini sangat berkaitan dengan perjalanan manusia dari satu alam ke alam yang lain. Dimana diantaranya kita akan menjumpai marhalah dan martabat (station dan keudukan) perjalanan yang cukup tinggi. Olehnya itu dalam perjalanan ini kita butuh mursyid (pembimbing), karena kita tidak mengetahui hendak kemana arah langkah kita berjalan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mulla Shadra mengatakan bahwa ada empat perjalanan yang harus kita lakukan. Pertama ; Safar min al khalq ila Al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju Allah), dari yang majemuk menuju yang tunggal. Bagaimana cara kita melakukan perjalanan ini?. Pada perjalanan ini pengenalan kita tentang Allah dalam wilayah konsepsi melalui bukti-bukti filosofis yang kita renungkan secara seksama. Di Maqam perjalanan ini sangat identik dengan safar filosofis, ilmiah, dan teoritis, menyangkut pemahaman kita tentang Allah. Atau dengan kata lain keutuhan niat dan keikhlasan kita dalam mencapai pemahaman pada atribut-atribut Keilahian yang ada dalam konsep ilmu Tauhid kita. Dalam fase ini tentunya kita sebagai makhluk dipisahkan dari Allah oleh berbagai martabat kemakhlukan kita, salah satunya adalah nafs (jiwa) kita. Seseorang yang hendak menuju Allah terlebih dahulu melalui nafs baik secara teoritik maupun praksis. Kemudian ia akan melalui kalbu, kalbu itupun ia harus lalui hingga menjadi ruh. Mengapa kita harus melalui ruh ini?  Sebab kita adalah materi, dibandingkan dengan sisi spiritual materi adalah gelap. Maka jiwa sifatnya gelap, dalam Alquran disebutkan ada nafs ammarah dan nafs lawwamah. Karena sifatnya yang gelap, maka dibutuhkan penyucian atau tazkiyatun nafs, inilah hijab pertama.
Hijab kedua adalah kalbu, mengapa kalbu adalah hijab? Padahal kalbu memberikan cahaya bagi nafs dan merupakan tingkatan alam ruhani. Memang kalbu memberikan cahaya bagi kita, tapi kita terkadang terpukau oleh cahaya kalbu, sehingga kita enggan untuk melanjutkan perjalanan kedua, karena kita telah puas dengan apa yang kita dapatkan di perjalanan pertama. Misalnya kita telah melakukan pembersihan diri (tazkiyatun nafs) setiap harinya. Akhlak kita telah terhiasi dengan akhlak Rasul dan para Aimmah, akan tetapi setiap harinya kita merasa cukup dan puas dengan maqam tersebut. Inilah manusia yang terperangkap pada maqam LA HUWA (BUKAN DIA), padahal ia tengah melakukan perjalanan dari makhluk menuju Allah. Oleh karena itu kita perlu mempersiapkan (melatih) nafs kita menembus cahaya kalbu kita dengan menemukan kesucian kita dari penghalang-penghalang dan godaan-godaan, agar kita dapat termotivasi dalam keikhlasan dan rasa syukur kepada Allah SWT.
Hal ini pun menurut Sayyid Haydar Amuli adalah tingkatan tauhid yang paling rendah, yakni Tauhid Fi’li (Tauhid perbuatan). Perjalanan kita masih disibukkan dengan nerlindung dari siksa Allah  dan mengharap ampunanNya. Ia sudah mengesakan Allah pada yingkat perbuatan (fi’li). Tauhid semacam ini berada pada tingkatan syariat atau Tauhid orang awwam. Kelompok ini terdiri dari dua golongan, yaitu golongan orang-orang yang bertauhid karena mengikuti orang lain atau guru-guru mereka, dan orang yang berhasil memahami keyakinan mereka melalui proses rasional dengan berupaya merenungkan pemahamannya hingga pada Allah sebagai sebab pertama yang Wajibul Wujud. A’udzu bi afwika min ‘ikabiqa (aku berlindung dengan ampunanMu dari siksaMu)
Perjalanan kedua adalah Safar fi Al-Haq ma’a Al-Haq (Perjalanan dalam Allah bersama Allah).  Perjalanan ini telah melewati perjalanan pertama dengan tiga marhalah (terminal) nafs, kalbu, dan ruh. Pada perjalanan ini ada tiga marhalah pula yang harus dilewati oleh seorang salik (pesuluk atau pengembara spiritual). Pertama maqam sirr (fana’ fi zati) atau kita kenal dengan ekstase. Kedua maqam khafiy (fana dalam sifat Allah). Dan ketiga maqam akhafa (fana dalam zat dan sifat Allah). Pada tingkatan ini seorang hamba tidak lagi melihat hubungan sebab akibat antara dirinya dengan Allah, yang dilihatnya kini adalah sifat-sifat Allah. Ia tidak melihat lagi sifat-sifat selain Allah. Ia melihat pengemis kecil dipinggir lampu merah yang makan dengan lahapnya sebagai ungkapan sifat kasih sayang Allah. Ia menyaksikan derita orang-orang yang ingkar kepada risalah Allah sebagai manifestasi murkaNya. Mereka “merasakan” sifat-sifat Allah bukan lagi dengan mata lahiriyahnya, melainkan dengan pandangan batinnya yang telah menembus dimensi metafisis, ia memahami kesempurnaan sifat Allah bukan hanya dengan akalnya, tapi juga dengan kalbunya. Tidak ada fa’il lain selain Allah dan mereka menyerahkan segala urusan hanya kepadaNya. Sebagaimana yang dikatakan dalam firmanNya “Allah ridha dengan mereka dan mereka ridha dengan Allah (QS, 5 : 119).
Sampai disini mereka mencapai maqam Tauhid Sifati, maqam keridhaan Allah fana dalam sifat Allah. Jika di perjalanan pertama kita selamat dari syirik besar, di maqam ini kita lepas dari syirik tersembunyi. Kini tidak ada lagi wujud hamba, yang ada hanya wujudNya. Fana……. Tidak ada lagi LA HUWA kecuali HUWA, kemana pun kamu berpaling disitu ada wajah Allah (QS, 2 : 115). Tauhid Zati, Tauhid pada tingkat hakikat kebenaran. Ana Al-Haq sebagaimana dikatakan oleh Mansur Al-Hallaj. Mereka menyaksikan Allah dengan cahayaNya, melihat Allah dengan Allah, dan mengetahui Allah dengan Allah bukan lewat perantara yang lain sebagaimana kaum awwam.
Salman Al-Farisi, sahabat Rasulullah saww dan ahlulbaitnya berada di maqam ini, sebagaimana sabda Rasulullah saww, “Sesungguhnya syurga lebih merindukan Salman ketimbang Salman merindukan syurga.”  Maqam realisasi spiritual dalam perjalanan kedua ini adalah kefanaan dalam zat dan sifat Allah. Inilah yang disebut oleh Rasulullah saww “Kebaikan orang yang berbuat kebajikan adalah keburukan bagi orang yang didekatkan kepada Allah.” Audzu biridhaka an sakhatik wa audzubika minka