REFLEKSI JIWA BERTAUHID
(Pemahaman Menuju Tauhid
Irfani)
Pengetahuan kita tentang sesuatu mengambil dua bentuk
personal dan universal atau dengan kata lain empirisal
dan metafisis. Demikian pula
mengenai ma’rifah tentang Allah juga mengambil dua bentuk, yaitu ma’rifah
hushuliyah dan ma’rifah
hudhuriyah. Yang pertama melalui
bukti-bukti kosmologis dan yang kedua menurut Ayatullah Taqi Misbah Yazdi
(seorang ulama dan filosof Iran kontemporer) tidak diajarkan atau dipelajari
sebagaimana pembelajaran konvensional melainkan melalui perjalanan ruhani.
Dalam kajian ilmu Tauhid dalam kerangka filosofis kita
mengenal pembagian Tauhid dalam tiga kerangka konsepsi, yaitu Tauhid Zati,
Tauhid Sifati, dan Tauhid Amali. Sehubungan dengan tema sentral kita, yaitu
Tauhid Irfani (dalam kerangka teoritis), maka dikonteks ini sangat berkaitan
dengan perjalanan manusia dari satu alam ke alam yang lain. Dimana diantaranya
kita akan menjumpai marhalah dan martabat (station dan keudukan) perjalanan yang cukup tinggi. Olehnya itu
dalam perjalanan ini kita butuh mursyid (pembimbing), karena kita tidak mengetahui hendak kemana
arah langkah kita berjalan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mulla Shadra mengatakan bahwa
ada empat perjalanan yang harus kita lakukan. Pertama ; Safar
min al khalq ila Al-Haq (perjalanan
dari makhluk menuju Allah), dari yang majemuk menuju yang tunggal. Bagaimana
cara kita melakukan perjalanan ini?. Pada perjalanan ini pengenalan kita
tentang Allah dalam wilayah konsepsi melalui bukti-bukti filosofis yang kita
renungkan secara seksama. Di Maqam perjalanan ini sangat identik dengan safar filosofis, ilmiah, dan teoritis, menyangkut pemahaman kita
tentang Allah. Atau dengan kata lain keutuhan niat dan keikhlasan kita dalam
mencapai pemahaman pada atribut-atribut Keilahian yang ada dalam konsep ilmu
Tauhid kita. Dalam fase ini tentunya kita sebagai makhluk dipisahkan dari Allah
oleh berbagai martabat kemakhlukan kita, salah satunya adalah nafs
(jiwa) kita. Seseorang yang hendak
menuju Allah terlebih dahulu melalui nafs baik secara teoritik maupun praksis. Kemudian ia akan
melalui kalbu, kalbu itupun ia harus lalui hingga menjadi ruh. Mengapa kita
harus melalui ruh ini? Sebab kita adalah
materi, dibandingkan dengan sisi spiritual materi adalah gelap. Maka jiwa
sifatnya gelap, dalam Alquran disebutkan ada nafs
ammarah dan nafs
lawwamah. Karena sifatnya yang
gelap, maka dibutuhkan penyucian atau tazkiyatun
nafs, inilah hijab pertama.
Hijab kedua adalah kalbu, mengapa kalbu adalah hijab?
Padahal kalbu memberikan cahaya bagi nafs dan merupakan tingkatan alam ruhani. Memang kalbu
memberikan cahaya bagi kita, tapi kita terkadang terpukau oleh cahaya kalbu,
sehingga kita enggan untuk melanjutkan perjalanan kedua, karena kita telah puas
dengan apa yang kita dapatkan di perjalanan pertama. Misalnya kita telah
melakukan pembersihan diri (tazkiyatun nafs) setiap harinya. Akhlak kita telah terhiasi dengan akhlak
Rasul dan para Aimmah, akan tetapi setiap harinya kita merasa cukup dan puas
dengan maqam tersebut. Inilah manusia yang terperangkap pada maqam
LA HUWA (BUKAN DIA), padahal
ia tengah melakukan perjalanan dari makhluk menuju Allah. Oleh karena itu kita
perlu mempersiapkan (melatih) nafs kita menembus cahaya kalbu kita dengan menemukan kesucian
kita dari penghalang-penghalang dan godaan-godaan, agar kita dapat termotivasi
dalam keikhlasan dan rasa syukur kepada Allah SWT.
Hal ini pun menurut Sayyid Haydar Amuli adalah tingkatan
tauhid yang paling rendah, yakni Tauhid Fi’li (Tauhid perbuatan). Perjalanan kita masih disibukkan dengan
nerlindung dari siksa Allah dan
mengharap ampunanNya. Ia sudah mengesakan Allah pada yingkat perbuatan (fi’li).
Tauhid semacam ini berada pada
tingkatan syariat atau Tauhid orang awwam. Kelompok ini terdiri dari dua
golongan, yaitu golongan orang-orang yang bertauhid karena mengikuti orang lain
atau guru-guru mereka, dan orang yang berhasil memahami keyakinan mereka
melalui proses rasional dengan berupaya merenungkan pemahamannya hingga pada
Allah sebagai sebab pertama yang Wajibul Wujud. A’udzu
bi afwika min ‘ikabiqa (aku berlindung
dengan ampunanMu dari siksaMu)
Perjalanan kedua adalah Safar fi
Al-Haq ma’a Al-Haq (Perjalanan
dalam Allah bersama Allah). Perjalanan
ini telah melewati perjalanan pertama dengan tiga marhalah (terminal) nafs,
kalbu, dan ruh. Pada perjalanan
ini ada tiga marhalah pula yang harus dilewati oleh seorang salik
(pesuluk atau pengembara
spiritual). Pertama maqam sirr (fana’ fi zati) atau kita kenal dengan ekstase. Kedua maqam
khafiy (fana
dalam sifat Allah). Dan ketiga maqam
akhafa (fana
dalam zat dan sifat Allah). Pada
tingkatan ini seorang hamba tidak lagi melihat hubungan sebab akibat antara
dirinya dengan Allah, yang dilihatnya kini adalah sifat-sifat Allah. Ia tidak
melihat lagi sifat-sifat selain Allah. Ia melihat pengemis kecil dipinggir
lampu merah yang makan dengan lahapnya sebagai ungkapan sifat kasih sayang
Allah. Ia menyaksikan derita orang-orang yang ingkar kepada risalah Allah
sebagai manifestasi murkaNya. Mereka “merasakan” sifat-sifat Allah bukan lagi
dengan mata lahiriyahnya, melainkan dengan pandangan batinnya yang telah
menembus dimensi metafisis, ia memahami kesempurnaan sifat Allah bukan hanya
dengan akalnya, tapi juga dengan kalbunya. Tidak ada fa’il
lain selain Allah dan mereka menyerahkan
segala urusan hanya kepadaNya. Sebagaimana yang dikatakan dalam firmanNya
“Allah ridha dengan mereka dan mereka ridha dengan Allah (QS, 5 : 119).
Sampai disini mereka mencapai maqam Tauhid Sifati, maqam keridhaan Allah fana dalam sifat Allah. Jika di perjalanan pertama kita selamat
dari syirik besar, di maqam ini kita lepas dari syirik tersembunyi. Kini tidak ada lagi wujud hamba, yang ada hanya
wujudNya. Fana……. Tidak ada lagi LA HUWA kecuali HUWA, kemana pun kamu berpaling disitu ada wajah Allah (QS, 2 :
115). Tauhid Zati, Tauhid pada tingkat hakikat kebenaran. Ana
Al-Haq sebagaimana dikatakan
oleh Mansur Al-Hallaj. Mereka menyaksikan Allah dengan cahayaNya, melihat Allah
dengan Allah, dan mengetahui Allah dengan Allah bukan lewat perantara yang lain
sebagaimana kaum awwam.
Salman Al-Farisi, sahabat Rasulullah saww dan ahlulbaitnya
berada di maqam ini, sebagaimana sabda Rasulullah saww, “Sesungguhnya syurga
lebih merindukan Salman ketimbang Salman merindukan syurga.” Maqam realisasi spiritual dalam perjalanan
kedua ini adalah kefanaan dalam zat dan sifat Allah. Inilah yang disebut oleh
Rasulullah saww “Kebaikan orang yang berbuat kebajikan adalah keburukan bagi
orang yang didekatkan kepada Allah.” Audzu biridhaka an sakhatik wa audzubika
minka