A. Pengertian
Ibadah Mahdah
Secara etomologis Ibadah diambil dari
kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba
atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya sendiri
milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk
memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah”
jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya
ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba
kepada-Nya:
وَمَا
خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالانْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُونَ
Artinya
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS. 51(al-Dzariyat ): 56)
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS. 51(al-Dzariyat ): 56)
Ditinjau dari jenisnya, ibadah
dalam Islam kita kenal dengan Ibadah Mahdah yang berarti penghambaan yang murni
hanya hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung.
Secara langsung Ibadah Mahdah
memiliki 4 prinsip yaitu :
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya
dalil perintah
Baik dari al-Quran maupun al-
Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau
logika keberadaannya.
2. Tatacaranya harus berpola kepada contoh
Rasul saw
Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah
untuk memberi contoh dalam surah An-Nisa ayat 64 :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøÎ*Î/ «!$# 4
Artinya :
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan
untuk ditaati dengan seizin Allah.
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka
tatacaranya, Nabi bersabda :
صَلٌّوا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى .رواه
البخاري . خذوا عنى مناسككم
Artinya :
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat.
Salah satu penyebab hancurnya
agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya
bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
3. Bersifat supra rasional (di
atas jangkauan akal)
Artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya
berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’.
Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
4.
Azasnya “taat”,
Yang dituntut dari hamba dalam
melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini
bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan
kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul
adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah
mahdah yang mahdah adalah sebagai berikut :
1.
Mengucapkan
dua kalimat syahadat
2.
Mendirikan
Shalat
3.
Berpuasa
4.
Mengeluarkan
zakat
5.
Naik Haji
B. Peranan Ibadah Mahdah dalam Kehidupan Sosial
1.
Makna
Syahadat dalam Kehidupan Sosial
Dua kalimat syahadat merupakan
syarat sah Islam, kapan seorang dikatakan Islam apabila seorang tersebut telah
mengucapka dua kalimat syahadat. Syahadat artinya
adalah persaksian. Dalam hal ini, persaksian barulah dianggap sebagai sebuah
persaksian ketika telah mencakup tiga hal :[1]
1)
Mengilmui dan meyakini
kebenaran yang dipersaksikan.
2)
Mengucapkan dengan lisannya.
3)
Menyampaikan persaksian
tersebut kepada yang lain.
a.
Makna Asyhadu
Allah Ilaha Illallah
Asyhadu alla ilaaha illallah artinya aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah. Dalam syahadat ini terdapat penafian (penolakan) sesembahan
selain Allah dan penetapan bahwa sesembahan yang benar hanya Allah. Adalah
sebuah kenyataan bahwasanya di dunia ini terdapat banyak sesembahan selain
Allah. Ada orang yang menyembah kuburan, pohon, batu, jin, wali, dan lain-lain.
Akan tetapi semua sesembahan tersebut tidak berhak untuk disembah, yang berhak
disembah hanya Allah.
b. Makna asyhadu anna muhammadar
rasulullah
syhadu anna Muhammadar Rasulullah artinya aku bersaksi bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Rasul Allah. Rasul adalah seseorang yang diberi wahyu oleh
Allah berupa syari’at dan ia diperintahkan untuk mendakwahkan syari’at tersebut
(Syarah Arba’in an Nawawiyah, Syaikh Al ‘Utsaimin). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di
tanganNya! Tidaklah mendengar kenabianku salah seorang dari umat ini, baik itu
Yahudi atau pun Nasrani, lalu ia meninggal sementara ia tidak beriman dengan
apa yang aku bawa, kecuali ia akan termasuk penduduk neraka” (HR. Muslim)
Perlu diingat, selain beliau adalah seorang Rasul
Allah, beliau juga berstatus sebagai Hamba Allah. Di satu sisi kita harus
mencintai dan mengagungkan beliau sebagai seorang Rasul, di sisi lain kita
tidak boleh mengagungkan beliau secara berlebihan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya
aku hanyalah hamba, maka sebutlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tidak
boleh kita anggap memiliki sifat-sifat yang berlebihan, atau memiliki
sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh Allah, semisal: menganggap beliau
mengetahui perkara yang ghaib, mampu mengabulkan do’a, mampu menghilangkan
kesulitan kita, dan lain-lain.
2. Makna
Shalat dalam Kehidupan Sosial
Shalat bukan hanya sekedar spritual semata, tetapai
bebrapa manfaat mengapa disyariatkanshalat adalah untuk mengingat(zikir) kepada
ALLAH. jika seorang hamba begitu dekat dengan tuhanya , kemudian memperbaiki
hubunganya 5 kali dalamsehar maka kuatnya kekuatan spiritual yang diperolehnya.
Allah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingatku”.
Dari sisi psikologis, shalat memberikan efek pembentukan
jiwa dan moral menjadi santun. Gerakan shalat yang dipadu dengan bacaan zikir
ternyata berandil dalm pembentukan moral. Firman Allah SWT :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Artinya :
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Demikian
juga mengapa ada persyaratan shalat.
Shalat adalah penolong seorang hamba dari segala kesulitan hidup. Selain itu
manfaat lain dari persyaratan shalat, yaitu shalat mampu menanggulangi
kegaulan, kepenatan pikiran, stres, lalu menggantikan dengan ketenangan jiwa
dan batin.[2]
Selain itu,
shalat yang ditetapkan waktunya oleh Allah, memberikan pelajaran unruk melatih
menggunakan waktu sebaik-baiknya, disiplin dan istiqamah. Allah berfirman :
4......... ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Inilah poin
penting mengapa ada persyariatan shalat dalam Islam. Banyak sisi manfaat yang
terkandung dalamperintah shalat dan semua kebetulan itu diperlukan oleh
manusia. Baik dari sisi medis, sosialmaupun psikologis.[3]
3. Peranan
Puasa dalam Kehidupan Sosial
Di balik berbagai puasa ataupun
berpantang serta bermati raga yang diajarkan oleh agama-agama, ada beberapa
makna motivasional yang bisa dihayati. :
a)
Pembelajaran soal siklus
kehidupan.
Ketika menjalankan puasa, kita belajar bahwa hidup
ternyata tidaklah melulu soal kesenangan dan kebahagiaan. Ada sisi lain dalam
kehidupan kita, kutub kelaparan, kutub perasaan tidak berdaya, bersusah hati.
Dengan demikian, kita pun diajari untuk melihat bahwa
kehidupan adalah keseimbangan antara kegembiraan dan kesulitan. Dengan
demikian, kita pun tahu bahwa di balik segala kegembiraan kita, ada masa ketika
kita akan bersedih dan bersusah.
Sebaliknya, di balik kesulitan dan penderitaan kita,
akan datang pula masanya bagi kita untuk bersuka cita. Itulah kehidupan. Ada
siang dan malam, ada susah dan senang. Itulah kehidupan kita yang normal!
b)
Pembelajaran untuk mensyukuri kenyamanan yang
kita jalani.
Bayangkan sepanjang tahun, kita jalani tanpa
merasakan kesulitan dan masalah sama sekali. Mungkin akibatnya, kita menjadi
tidak waspada dan tidak pernah bersyukur dengan segala kegampangan, fasilitas serta
bantuan yang kita peroleh dalam hidup ini.
Karena itulah, kita pun jadi lebih bisa
sungguh-sungguh bersyukur ketika menghadapi masalah, tantangan dan situasi yang
sulit. Jadi benarlah kata Mahatma Gandhi, “Melalui penderitaan, aku belajar
bersyukur atas kehidupan.”
c)
Pembelajaran bahwa siksaan
lebih bersifat mental daripada fisik.
Ketika menjalani puasa, pantangan atau sejenisnya ada
kalanya kita melihat orang yang begitu menderitanya. Komentar, perasaan serta
pikiran mereka, membuat apa yang mereka jalani menjadi lebih sulit daripada
kondisi yang sebenarnya.
Herannya, sementara orang lain menjalankan puasa dengan baik-baik
saja, mereka ini tampaknya begitu menderita. Di sinilah pembelajaran bahwa
kesulitan lebih banyak karena faktor mental, muncul. Malahan, semakin pikiran
dan perasaan kita merasakan puasa sebagai siksaan, semakin kita menyiksa diri
kita.
d)
Pembelajaran menunda
kesenangan.
Ada berbagai
penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk menunda kesenangan
(delay gratification) berhubungan dengan kesuksesan seseorang di
bidangnya. Setelah menunda kesenangan setiap hari hingga tiba waktunya berbuka
serta melakukannya selama sekitar 40 hari adalah pembelajaran yang penuh makna
soal menunda kesenangan ini.
e)
Pembelajaran simpati.
Sering kali,
ketika orang mengalami kesulitan dan masalah, kita hanya bisa berkomentar
“Turut bersedih lho!” ataupun “Saya turut berduka dengan apa yang terjadi”.
Namun, apakah itu hanya sebatas lip service
ataukah kita betul-betul merasakan? Karena
itulah, sering kali cara terbaik merasakan kesulitan orang adalah berada di
posisi dan situasi orang tersebut.
Ketika kita merasakan lapar dan haus, itulah situasi
terbaik untuk merasakan mereka yang susah, kekurangan serta tidak punya
keberlimpahan seperti kita. Di sinilah pembelajaran simpati kita diasah.
4. Peranan
Zakat dalam kehidupan Sosial
Pada zaman Nabi SAW dan para khalifah, zakat merupakan
susatu lembaga negara sehingga menjadi kewajiban negara untuk menghitung
kewajiban zakat para warga Negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah
membentuk badan pengumpul zakat dan masing masing gubernur melakukan hal yang
sama di wilayahnya.
Bila dalam masyrakat muslim pemerintahannya tidak
memiliki badan nasional resmi pengumpul zakat maka pengelolaan zakat dapat dilakukan
oleh sekelompok individu muslim atau institusi-institusi tertentu untuk
kepentingan islam.di negara kita
berhubung pemerintah tidak mempunyai badan resmi sebagai penghitung dan
pengumpul zakat.[4]
Zakat menurut arti lughat adalah bertumbuh, kesuburan,
kesucian dan keberkahan.[5] Sesuai
dengan firman Allah SWT :
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artinya :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Menurut
istilah Syara’ zakat adalh sejumlah harta yang dikeluarkan dari jenis tertentu
dan diberikan kepada orang-orang yang tertentu dengan syarat yang ditentukan
pula. Harta itu disebut zakat karenaia membersihkan orang yang mengeluarkannya
dari dosa, membuat hartanya berkah dan bertambah banyak.
Ada dua
manfaat besar yang diberiakn dalam melaksanakan zakat itu sendiri, yaitu :
a.
Manfaat bagi
muzaki adalah membersihkan jiwa mereka dari sifat kikir, bakhil dan tamak.
Menanamkan rasa cinta terhadap golongan dhuafa. Membersihkan harta yang kotor
karena dalam harta mereka ada hakorang lain yang harus dikeluarkan.
Mempergunakan kekayaan pemilik apabila memberikan zakat dilandasi dengan rasa
ikhlas dan terhindar dari siksaan akhirat.
b.
Manfaat bagi
dhuafa adalah menghilangkan rasa dengki dan benci kepada orang kaya yang tidak
memperhatikan penderitaan orang lain. Selain itu, menumbuhkan rasa syukur
kepada Allah SWT dan menanamkan beban hidup serta memeroleh modal kerja untuk
kehidupan yang layak.
5. Peranan
Haji dalam Kehidupan Sosial
Haji adalah amalan ibadah yang menjadi rukun Islam ke-5.
Haji itu sendiri secara syariat sudah lama ada, yaitu pada masa nabi-nabi
sebelum nabi Muhammad saw. Ada sebuah keterangan bahwa nabi Adam as pernah
berhaji dan para malaikat mengucapkan selamat pada apa yang dilakukan oleh nabi
Ibrahim as dan nabi Ismail as. Bahkan mereka berdua kembali membangun ka’bah
sebagai pusat haji dan pusat spritual manusia. Pelaksanaan ibadah ini pun pun
berlanjut pada umat nabi Muhammad saw.
Allah berfirman dalam surah Ali-Imran (3) : 97
ÏmÏù 7M»t#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzy tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
Artinya :
Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Selain itu
rasulullah juga bersabda : “islam didirikan atas lima sendi:bersaksi tidak
ada tuhan melainkan Allah dan muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa pada bulan ramadhan.”
Ibadah haji pertama
dilakukan oleh kaum muslim pasca terlepasnyamekah dari cengkraman kafir
quraisy. Ssetelah peristiwa fathu makkah (kemerdekaan kota mekah dari kaum
kafir quraisyi)kaum muslim melawan kafir quraisyi mekah, rasulullah
mencontohkan ritual haji kepada umatnya. Ibadah haji kepada umatnya. Ibadh haji
juga menyerupai puasa, artinya pernah disyariatkan kepada umat sebelumnya.
Sesuatu yang diulang ulang dalam syariat islam memiliki nilai keunggulan dan
keutamaan bagi pelakunya.[6]
[2] M. Masrur
Huda, Ternyata Ibadah Tidaka Hanya untuk Allah, (Cet. I; Jakarta :
Qultum Media, 2011), h., 88.
[4] M. Amin
Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, (Cet. I;
Yogyakarta : Penerbit Mizan, 1998), h.,132.
[6] Abu Fajar Al Qalami, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin Imam Al
Ghazali, (Cet. I; Surabaya : Gitamedia Press, 2003), h., 82.