Minggu, 12 Oktober 2014

Ibadah Mahdah



A.  Pengertian Ibadah Mahdah
Secara etomologis Ibadah diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.  Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالانْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُونَ 
Artinya  
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu  (QS. 51(al-Dzariyat ): 56)
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam kita kenal dengan Ibadah Mahdah yang berarti penghambaan yang murni hanya hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung.
Secara langsung Ibadah Mahdah memiliki 4 prinsip yaitu :
1.    Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah
Baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
2.    Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw
Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh dalam surah An-Nisa ayat 64 :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4
Artinya :
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda :
صَلٌّوا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى .رواه البخاري   . خذوا عنى مناسككم
Artinya :
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat.
Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
3.    Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal)
Artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
4.    Azasnya “taat”,
Yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.  Jenis ibadah mahdah yang mahdah adalah sebagai berikut :
1.              Mengucapkan dua kalimat syahadat
2.              Mendirikan Shalat
3.              Berpuasa
4.              Mengeluarkan zakat
5.              Naik Haji 
B.  Peranan Ibadah Mahdah dalam Kehidupan Sosial
1.    Makna Syahadat dalam Kehidupan Sosial
Dua kalimat syahadat merupakan syarat sah Islam, kapan seorang dikatakan Islam apabila seorang tersebut telah mengucapka dua kalimat syahadat. Syahadat artinya adalah persaksian. Dalam hal ini, persaksian barulah dianggap sebagai sebuah persaksian ketika telah mencakup tiga hal :[1]
1)      Mengilmui dan meyakini kebenaran yang dipersaksikan.
2)      Mengucapkan dengan lisannya.
3)      Menyampaikan persaksian tersebut kepada yang lain.
a.    Makna Asyhadu Allah Ilaha Illallah
Asyhadu alla ilaaha illallah artinya aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dalam syahadat ini terdapat penafian (penolakan) sesembahan selain Allah dan penetapan bahwa sesembahan yang benar hanya Allah. Adalah sebuah kenyataan bahwasanya di dunia ini terdapat banyak sesembahan selain Allah. Ada orang yang menyembah kuburan, pohon, batu, jin, wali, dan lain-lain. Akan tetapi semua sesembahan tersebut tidak berhak untuk disembah, yang berhak disembah hanya Allah.
b.    Makna asyhadu anna muhammadar rasulullah
syhadu anna Muhammadar Rasulullah artinya aku bersaksi bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul Allah. Rasul adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah berupa syari’at dan ia diperintahkan untuk mendakwahkan syari’at tersebut (Syarah Arba’in an Nawawiyah, Syaikh Al ‘Utsaimin). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya! Tidaklah mendengar kenabianku salah seorang dari umat ini, baik itu Yahudi atau pun Nasrani, lalu ia meninggal sementara ia tidak beriman dengan apa yang aku bawa, kecuali ia akan termasuk penduduk neraka” (HR. Muslim)
Perlu diingat, selain beliau adalah seorang Rasul Allah, beliau juga berstatus sebagai Hamba Allah. Di satu sisi kita harus mencintai dan mengagungkan beliau sebagai seorang Rasul, di sisi lain kita tidak boleh mengagungkan beliau secara berlebihan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku hanyalah hamba, maka sebutlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tidak boleh kita anggap memiliki sifat-sifat yang berlebihan, atau memiliki sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh Allah, semisal: menganggap beliau mengetahui perkara yang ghaib, mampu mengabulkan do’a, mampu menghilangkan kesulitan kita, dan lain-lain.

2.    Makna Shalat dalam Kehidupan Sosial
Shalat bukan hanya sekedar spritual semata, tetapai bebrapa manfaat mengapa disyariatkanshalat adalah untuk mengingat(zikir) kepada ALLAH. jika seorang hamba begitu dekat dengan tuhanya , kemudian memperbaiki hubunganya 5 kali dalamsehar maka kuatnya kekuatan spiritual yang diperolehnya.
Allah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingatku”.
Dari sisi psikologis, shalat memberikan efek pembentukan jiwa dan moral menjadi santun. Gerakan shalat yang dipadu dengan bacaan zikir ternyata berandil dalm pembentukan moral. Firman Allah SWT :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
Artinya :
 Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Demikian juga  mengapa ada persyaratan shalat. Shalat adalah penolong seorang hamba dari segala kesulitan hidup. Selain itu manfaat lain dari persyaratan shalat, yaitu shalat mampu menanggulangi kegaulan, kepenatan pikiran, stres, lalu menggantikan dengan ketenangan jiwa dan batin.[2]
Selain itu, shalat yang ditetapkan waktunya oleh Allah, memberikan pelajaran unruk melatih menggunakan waktu sebaik-baiknya, disiplin dan istiqamah. Allah berfirman :
4......... ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ  
Artinya :
 Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Inilah poin penting mengapa ada persyariatan shalat dalam Islam. Banyak sisi manfaat yang terkandung dalamperintah shalat dan semua kebetulan itu diperlukan oleh manusia. Baik dari sisi medis, sosialmaupun psikologis.[3]
3.    Peranan Puasa dalam Kehidupan Sosial
Di balik berbagai puasa ataupun berpantang serta bermati raga yang diajarkan oleh agama-agama, ada beberapa makna motivasional yang bisa dihayati. :
a)    Pembelajaran soal siklus kehidupan.
Ketika menjalankan puasa, kita belajar bahwa hidup ternyata tidaklah melulu soal kesenangan dan kebahagiaan. Ada sisi lain dalam kehidupan kita, kutub kelaparan, kutub perasaan tidak berdaya, bersusah hati.
Dengan demikian, kita pun diajari untuk melihat bahwa kehidupan adalah keseimbangan antara kegembiraan dan kesulitan. Dengan demikian, kita pun tahu bahwa di balik segala kegembiraan kita, ada masa ketika kita akan bersedih dan bersusah.
Sebaliknya, di balik kesulitan dan penderitaan kita, akan datang pula masanya bagi kita untuk bersuka cita. Itulah kehidupan. Ada siang dan malam, ada susah dan senang. Itulah kehidupan kita yang normal!
b)    Pembelajaran untuk mensyukuri kenyamanan yang kita jalani.
Bayangkan sepanjang tahun, kita jalani tanpa merasakan kesulitan dan masalah sama sekali. Mungkin akibatnya, kita menjadi tidak waspada dan tidak pernah bersyukur dengan segala kegampangan, fasilitas serta bantuan yang kita peroleh dalam hidup ini.
Karena itulah, kita pun jadi lebih bisa sungguh-sungguh bersyukur ketika menghadapi masalah, tantangan dan situasi yang sulit. Jadi benarlah kata Mahatma Gandhi, “Melalui penderitaan, aku belajar bersyukur atas kehidupan.”
c)    Pembelajaran bahwa siksaan lebih bersifat mental daripada fisik.
Ketika menjalani puasa, pantangan atau sejenisnya ada kalanya kita melihat orang yang begitu menderitanya. Komentar, perasaan serta pikiran mereka, membuat apa yang mereka jalani menjadi lebih sulit daripada kondisi yang sebenarnya.
Herannya, sementara orang lain menjalankan puasa dengan baik-baik saja, mereka ini tampaknya begitu menderita. Di sinilah pembelajaran bahwa kesulitan lebih banyak karena faktor mental, muncul. Malahan, semakin pikiran dan perasaan kita merasakan puasa sebagai siksaan, semakin kita menyiksa diri kita.
d)   Pembelajaran menunda kesenangan.
 Ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk menunda kesenangan (delay gratification) berhubungan dengan kesuksesan seseorang di bidangnya. Setelah menunda kesenangan setiap hari hingga tiba waktunya berbuka serta melakukannya selama sekitar 40 hari adalah pembelajaran yang penuh makna soal menunda kesenangan ini.
e)    Pembelajaran simpati.
 Sering kali, ketika orang mengalami kesulitan dan masalah, kita hanya bisa berkomentar “Turut bersedih lho!” ataupun “Saya turut berduka dengan apa yang terjadi”.
Namun, apakah itu hanya sebatas lip service ataukah kita betul-betul merasakan?  Karena itulah, sering kali cara terbaik merasakan kesulitan orang adalah berada di posisi dan situasi orang tersebut.
Ketika kita merasakan lapar dan haus, itulah situasi terbaik untuk merasakan mereka yang susah, kekurangan serta tidak punya keberlimpahan seperti kita. Di sinilah pembelajaran simpati kita diasah.
4.    Peranan Zakat dalam kehidupan Sosial
Pada zaman Nabi SAW dan para khalifah, zakat merupakan susatu lembaga negara sehingga menjadi kewajiban negara untuk menghitung kewajiban zakat para warga Negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah membentuk badan pengumpul zakat dan masing masing gubernur melakukan hal yang sama di wilayahnya.
Bila dalam masyrakat muslim pemerintahannya tidak memiliki badan nasional resmi pengumpul zakat maka pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh sekelompok individu muslim atau institusi-institusi tertentu untuk kepentingan islam.di  negara kita berhubung pemerintah tidak mempunyai badan resmi sebagai penghitung dan pengumpul zakat.[4]
Zakat menurut arti lughat adalah bertumbuh, kesuburan, kesucian dan keberkahan.[5] Sesuai dengan firman Allah SWT :
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
Artinya :
 Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Menurut istilah Syara’ zakat adalh sejumlah harta yang dikeluarkan dari jenis tertentu dan diberikan kepada orang-orang yang tertentu dengan syarat yang ditentukan pula. Harta itu disebut zakat karenaia membersihkan orang yang mengeluarkannya dari dosa, membuat hartanya berkah dan bertambah banyak.
Ada dua manfaat besar yang diberiakn dalam melaksanakan zakat itu sendiri, yaitu :
a.         Manfaat bagi muzaki adalah membersihkan jiwa mereka dari sifat kikir, bakhil dan tamak. Menanamkan rasa cinta terhadap golongan dhuafa. Membersihkan harta yang kotor karena dalam harta mereka ada hakorang lain yang harus dikeluarkan. Mempergunakan kekayaan pemilik apabila memberikan zakat dilandasi dengan rasa ikhlas dan terhindar dari siksaan akhirat.
b.         Manfaat bagi dhuafa adalah menghilangkan rasa dengki dan benci kepada orang kaya yang tidak memperhatikan penderitaan orang lain. Selain itu, menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT dan menanamkan beban hidup serta memeroleh modal kerja untuk kehidupan yang layak.
5.    Peranan Haji dalam Kehidupan Sosial
Haji adalah amalan ibadah yang menjadi rukun Islam ke-5. Haji itu sendiri secara syariat sudah lama ada, yaitu pada masa nabi-nabi sebelum nabi Muhammad saw. Ada sebuah keterangan bahwa nabi Adam as pernah berhaji dan para malaikat mengucapkan selamat pada apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as. Bahkan mereka berdua kembali membangun ka’bah sebagai pusat haji dan pusat spritual manusia. Pelaksanaan ibadah ini pun pun berlanjut pada umat nabi Muhammad saw.
Allah berfirman dalam surah Ali-Imran (3) : 97
ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ  
Artinya :
 Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Selain itu rasulullah juga bersabda : “islam didirikan atas lima sendi:bersaksi tidak ada tuhan melainkan Allah dan muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan  zakat, berhaji ke Baitullah, dan  berpuasa pada bulan ramadhan.”
Ibadah haji pertama dilakukan oleh kaum muslim pasca terlepasnyamekah dari cengkraman kafir quraisy. Ssetelah peristiwa fathu makkah (kemerdekaan kota mekah dari kaum kafir quraisyi)kaum muslim melawan kafir quraisyi mekah, rasulullah mencontohkan ritual haji kepada umatnya. Ibadah haji kepada umatnya. Ibadh haji juga menyerupai puasa, artinya pernah disyariatkan kepada umat sebelumnya. Sesuatu yang diulang ulang dalam syariat islam memiliki nilai keunggulan dan keutamaan bagi pelakunya.[6]


[1] Muh.Rezki AR, At-Tauhid, (Yogyakarta : Buletin Muslim, 2012), h.,7.

[2] M. Masrur Huda, Ternyata Ibadah Tidaka Hanya untuk Allah, (Cet. I; Jakarta : Qultum Media, 2011), h., 88.
[3] Ibid, h., 89.
[4] M. Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, (Cet. I; Yogyakarta : Penerbit Mizan, 1998), h.,132.
[5] M. Sulaiman Rasjid, Fiqhi Islam, (Cet. XIII; Jakarta : At-Tahirijah, 1955), h., 190.
[6] Abu Fajar Al Qalami, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin Imam Al Ghazali, (Cet. I; Surabaya : Gitamedia Press, 2003), h., 82.