Sabtu, 17 Oktober 2015

Sawerigading



Sawerigading
Fachruddin Ambo Enre,dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge (1993), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskahSureGaligo, yaitu sebagai naskah mitos dan legenda, sebagai naskahsejarah dan sebagai karya sastra.
Pendapat yang menyatakan sebagai mitos dan legenda cukup beralasan sebab dalam cerita tersebut terdapat ciri-ciri ceerita yang berkaitan dengan mitos penciptaan oleh dewa di langit dengan mengirim anaknya Batara Guru dan We Nyilitomo ke bumi. Batara Gurulah yang menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau. Menyusuli kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti : ubi, ke;adi, pisang, tebu dan lainnya. Kekuatan supernatural yang dimiliki para tokohnya, seperti naik ke langi, turun ke peretiwi, atau menyeberang ke maja [ dunia roh ], kemampuannya meredakan angin ribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan aspek budaya lainnya merupakan ciri-ciri cerita mitos yang umum.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai legenda didasarkan pada benda-benda alam yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading, seperti Bulupoloe di dekat malili, dikatakan sebagai bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya Batu cadas di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora, daerah mangkedek, tanah Toraja terdapat batu yang dianggap penjelmaan We Pinrakasi, isteri Sawerigading yang meninggal dalam keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh.
Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma menjadi batu. Gunung batu di daerah Bambapuang [ Enrekang ], yang dari jauh nampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong besar yang terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula kepingin perahu yang terdapat di Bontotene dianggap perahu Sawerigading.
Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading mempunyai nilai sejarah, yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng yang menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah raja-raj di Sulawesi Selatan [Lontara Pangoriseng], di puncak silsilah itu terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigadin, Batara Lattu dan Batara Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut
tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah , tetapi mereka mengklaim bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar ceritanya adalah fiksi. Cerita Sawerigading dianggap sebagai karya sastra oleh beberapa tokoh antara lain Raffles, Matthes, R.A. Kern, A. Zainal Abidin Farid, cerita Sawerigading adalah sastra kuno yang dianggap suci oleh Bugis tetapi bukan sejarah. Demikian pula Fachruddin menganggap Sure Galigo adalah sastra suci.