Persepsi di
dalam Filsafat Mulla Sadra:
Jalan
Menuju Kesempurnaan
Abstrak
Adalah suatu keumuman
bagi hampir semua pemikir Muslim di masa lalu untuk menguatkan sistem pemikiran
mereka, baik pemikiran teologis, filosofis, maupun mistis, dengan
mendasarkannya pada Alquran dan perkataan-perkataan Nabi, apakah perujukan itu
bersifat penyesuaian dengan (conformation
to), ataupun bersifat penegasan dari (confirmation
of). Meskipun metode dan terminologi yang mereka gunakan agak berbeda
dengan para penafsir yang khusus menggeluti masalah ini (mufassirun), namun mereka menganggap bahwa dengan usaha keras
seperti pada mufassirun tersebut,
mereka tetap mengupayakan pendekatan dan mengusahakan keakuratan semaksimal
mungkin dalam mencapai ruh tekstual agama. Di antara filosof Muslim terakhir,
mungkin Mulla Sadra-lah yang dengan memanfaatkan warisan nilai-nilai Islam dari
para pendahulunya dan kemudian menyusun struktur metafisiknya dengan
pengembangan baru dari warisan tersebut, Sadra kemudian membedakan pemikirannya
dengan yang lain dalam satu kualitas: yakni penggabungan atau penyatuan (dari
berbagai pemikiran sebelumnya) yang ditunjukkan dalam berbagai upaya
intelektualnya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh beberapa mazhab
pemikiran di dalam filsafat Islam. Demikian
juga dalam penafsiran Mulla Sadra terhadap ayat-ayat Alquran.
Tulisan ini akan memfokuskan uraian tentang metode dan pemahaman Mulla Sadra
dalam menjelaskan makna beberapa ayat Alquran, khususnya yang berhubungan
dengan ayat tentang cahaya, QS 24:35. ) Pertama-tama, tulisan ini
akan menguraikan sifat-sifat persepsi (idrâk) dan berbagai bentuknya, kemudian membahas peranan
persepsi dalam tahap-tahap perkembangan jiwa yang kemudian mengantarkan jiwa
tersebut menuju kesempurnaan (kamâl). Dalam pandangan Mulla Sadra, terdapat perbedaan
antara kesempurnaan ragawi dan kesempurnaan jiwa, yang kemudian Sadra
menambahkan bahwa sebelum memahami bagaimana jiwa mencapai kesempurnaan,
terlebih dahulu seseorang harus memahami bagaimana proses dalam mencapai
kesempurnaan ragawi. Tema tentang “kesempurnaan” sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh para pendahulu Sadra, misalnya Ibn Sina yang meminjam konsep “entelechy” ) dari Aristoteles dimana
konsep ini lebih banyak merujuk pada suatu aktualisasi “kesiapan” (isti’dâd) akal materi (‘aql
hayûlâni), ) memberikan kontribusi yang
sangat sedikit dalam pemikiran Mulla Sadra. Dalam pemahaman Mulla Sadra, segala
sesuatu yang termasuk di dalamnya jiwa manusia, mempunyai perjalanan alami
tertentu menuju kesempurnaan. Dalam hal ini, kesempurnaan bagi jiwa merupakan
hasil dari persepsi aktif dan pembentukan bentuk-bentuk, bukan dari kemenjadian
(occurence, husûl) bentuk-bentuk tersebut di dalam jiwa sebagaimana yang
dipahami oleh Ibn Sina. Dimensi filosofis dan mistis kesempurnaan jiwa akan
dijelaskan secara detail dengan latar belakang tafsiran Mulla Sadra tentang
ayat cahaya. Selanjutnya, penjelasan subjek ini akan dikembangkan lebih luas
dengan menggunakan beberapa argumen tambahan yang diambil dari berbagai
penjelasan di dalam al-Asfar, kitab
yang menjadi magnum opus pemikiran
filsafat Mulla Sadra.
************
idak bisa dipungkiri, Alquran mempunyai pengaruh
dan peranan yang sangat kuat di dalam semua karya-karya Mulla Sadra. Meskipun
Mulla Sadra juga masih mengambil nilai-nilai dari warisan intelektual para
pendahulunya, namun Alquran merupakan faktor yang sangat substansial dalam
bangunan dan penyempurnaan sistem filsafat Mulla Sadra secara keseluruhan. Jika
dibandingkan dengan beberapa filosof Muslim yang mendahuluinya misalnya
al-Ghazali, dengan sedikit pengecualian, mungkin perujukan Mulla Sadra kepada
Alquran memiliki ciri yang agak berbeda. Ajaran Alquran kelihatannya sangat
mempengaruhi seluruh aspek ide-ide Mulla Sadra, baik ide-ide metafisik,
epistemologi, maupun eskatologisnya. ) Akan tetapi, tulisan ini
tidak akan membahasa masalah penting ini, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa
beberapa kajian akademis yang ada masih parsial dalam menyentuh persoalan ini, 1) namun terlihat banyak
pengembangan penelitian yang serius untuk mempelajari masalah ini. Tulisan ini
akan lebih banyak menyinggung upaya untuk menganalisis salah satu ayat khusus
yang disebut sebagai ayat cahaya (QS. 24:35) dalam hubungannya dengan teori
persepsi Mulla Sadra, sebagai tulisan pengantar yang dapat membantu dalam
memahami masalah-masalah lain di dalam pemikiran Mulla Sadra.
Dalam memulai memahami perujukan Mulla Sadra
terhadap Alquran di dalam karya-karya filosofisnya, setidaknya ada satu tujuan
Mulla Sadra yang terlihat dengan jelas: yakni mendukung dan memperkuat
pandangan-pandangannya dalam memahami wahyu melalui sistem hermeneutiknya ) agar pemahamannya sesuai
dengan ajaran-ajaran Alquran. Dalam melakukan hal ini, Sadra terlihat sangat
konsisten, khususnya di dalam analisis tentang ayat yang sangat mungkin
ditafsirkan dalam berbagai sudut pandang yang beragam. Seperti yang diharapkan
oleh filosof-filosof lain yang tertarik terhadap filsafat Islam, Mulla Sadra
juga tidak bisa menyusun bangunan filsafatnya tanpa merujuk kepada ayat cahaya,
setidaknya Sadra harus menyesuaikan pemahamannya dengan ayat cahaya tersebut.
Dalam penafsirannya tentang ayat cahaya ini, Mulla Sadra menyarankan untuk
memahami terlebih dahulu ayat ke tujuhpuluh dua surah al-Ahzab yang bisa
menjadi contoh dalam menggambarkan masalah ini secara lebih jelas:
Sesungguhnya Kami telah
menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh, (QS. 33:72)
Istilah al-amanah, yang ditafsirkan sebagai
“ketaatan” (al-ta’ah) dan “kewajiban”
(al-fara’idh) di dalam kitab-kitab
tafsir tradisional, ditafsirkan oleh Mulla Sadra dalam konteks sistem
pemikirannya sebagai “wujud” (al-wujud).
Mulla Sadra menganggap, yang dimaksud dengan “amanah” di dalam ayat ini adalah “wujud,” dimana setiap eksisten (maujud) selain manusia, memiliki wujud
yang statis (tsabit), tidak mengalami
transformasi maupun perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain, atau dari
suatu bentuk wujud ke bentuk lainnya. Akan tetapi, kondisi kestatisan ini tidak
berlaku bagi manusia. Menurut Mulla Sadra, manusia itu mengalami perkembangan
progresif yang konstan dari suatu keadaan wujud ke keadaan lainnya dan dari
suatu bentuk ciptaan (nasy’ah) ke
bentuk lainnya. Di dalam perkembangan ini, manusia tidak mengalami kestatisan
pada suatu tingkatan partikular tertentu, karena seperti yang ditekankan oleh Mulla
Sadra, wujud manusia adalah amanah yang tersimpan di pundaknya yang akan
menemaninya di dalam kebersamaannya dengan orang lain, juga yang akan
mengantarkannya menuju hari akhir dan di waktu perjumpaannya dengan Allah Swt. 2) Tentu saja, penafsiran
seperti ini, meskipun kelihatan sangat liberal dan baru, selain sangat berbeda
dengan penafsiran konvensional, ia juga
agak sulit dipahami. Sebaliknya, penafsiran ini sangat cocok dengan bangunan
metafisik Mulla Sadra, bukan hanya sebagai sebuah legitimasi tekstual validitas
pemikirannya, tetapi yang lebih penting adalah sebagai sebuah sumber nilai yang
digunakan dalam pengembangan pemikiran filsafat Mulla Sadra.
Dengan memperhatikan penjelasan awal ini, kita
kemudian bisa melanjutkan pembahasan tentang subjek utama dalam tulisan ini,
yakni teori persepsi Mulla Sadra di dalam konteks penafsirannya tentang ayat
cahaya. Harus diperhatikan bahwa, sebagai tambahan terhadap risalahnya yang
menguraikan secara luas penafsiran ayat cahaya tadi, 3) Mulla Sadra juga mendiskusikan masalah ini pada
berbagai tingkatan di dalam karya-karya umumnya yang lain. 4) Agar lebih jelas, beberapa dari karya-karya ini juga
akan disebutkan dalam hubungannya dengan penelitian kita.
Di dalam penafsirannya tentang ayat cahaya,
setelah mengkaji ulang secara detail dan kritis tentang kemungkinan makna
istilah cahaya (nur) yang disampaikan
oleh pemikir-pemikir Muslim sebelumnya, khususnya dari golongan Peripatetik,
Iluminasionis, dan kaum Sufi, Mulla Sadra akhirnya menggunakan defenisi cahaya
menurut al-Ghazali ) karena Sadra menganggap
defenisi ini lebih cocok dengan pengertian umum apa yang disebutnya “penghulu
kearifan” (the imams of wisdom).
Menurut al-Ghazali, “cahaya adalah sesuatu yang melaluinya mewujud segala
sesuatu.” 5) Defenisi ini
mengisyaratkan dua kemungkinan makna kesempurnaan jika sifat cahaya dan
penerapan sifat cahaya tersebut dipahami terlebih dahulu. Dalam hal ini, cahaya
dapat dihubungkan dengan sesuatu, apakah secara ril maupun secara metaforis.
Pada hubungan metaforis, terdapat dua ekstensi yakni pemberi dan penerima
cahaya, sementara dalam hubungan rilnya, yang ada hanyalah pemberi cahaya saja.
Ketika cahaya dipandang dalam hubungan metaforis tadi, maka sifat cahaya dapat
diterapkan pada banyak wujud, baik pisik maupun spiritual, melalui ekstensi
figuratif (tajawwuz), penisbatan (derivation) maupun perbandingan (tasybih). Akan tetapi, Sadra menegaskan
bahwa penjelasan seperti ini tidak bisa diterapkan sama sekali terhadap Dzat
Allah, karena dalam hal ini, Dzat Allah adalah Wujud Murni sekaligus Cahaya
yang paling tipis (a sheer Light). 6) Di samping itu, Mulla
Sadra memaknai cahaya dengan pengertian yang lebih dalam dibanding pemahaman
al-Ghazali yang menganggap cahaya hanya “yang membuat sesuatu menjadi nampak.”
Bagi Mulla Sadra, cahaya juga adalah “kesempurnaan wujud,” yang dengan demikian
cahaya dianggap sebagai suatu wujud. Apalagi, wujud dan cahaya mempunyai makna
(ma’na) dan realitas (al-haqiqah)
yang sama, meskipun keduanya mempunyai nama yang berbeda. Oleh karena itu, wujud
adalah keindahan dan kesempurnaan setiap maujud.7)
Selain bagi dzat Allah, Mulla Sadra mengatakan
bahwa wujud dan cahaya adalah satu dan sama dalam wujudnya. Dengan pengertian
ini, kita akan lebih mudah memahami firman Allah: “Allah adalah cahaya langit
dan bumi.” Bagi Mulla Sadra, ayat ini berarti bahwa Allah sebagai Wujud dan
Cahaya benar-benar ada dan karenanya tidak ada hijab maupun pembatas yang dapat
menyembunyikanNya.8)
Berbeda dengan Ibn Sina, beberapa pemikir Peripatetik lainnya dan golongan mutakallim, Mulla Sadra menegaskan,
sebagaimana salah seorang pemikir Ottoman pensyarah pemikirannya, Isma’il
Ankarawi (m. 1041/1631), 9)
bahwa cahaya dalam makna hakiki adalah Wujud Allah. Pengertian ini lahir dari
sebuah pemahaman bahwa apapun yang mewujud dalam realitas adalah Wujud Allah,
Kebenaran, dan bukan yang lain; demikian pula bahwa wujudalitas semua wujud
tergantung kepada Wujud Allah, sebagaimana halnya cahaya semua wujud tergantung
kepada Cahaya Allah. 10)
Setelah menjelaskan cahaya dan wujud dalam Wujud
Allah adalah sama dan satu, Mulla Sadra kemudian melanjutkan pembahasan lain
tentang ayat cahaya serta penjelasan yang berhubungan dengan masalah ini. Pada
dasarnya, Mulla Sadra memberikan dua penafsiran yang berbeda, yang pertama
menyangkut alam mikrokosmos, yakni tubuh pisik manusia (al-alam al-insani al-badani) yang akan kita singgung sedikit saja;
dan yang kedua menyangkut alam makrokosmos yang terdiri dari dua alam: ‘alam al-‘afaq (alam semesta) dan ‘alam al-‘anfus (alam jiwa). Topik yang
akan menjadi fokus kita dalam pembahasan ini adalah penafsiran pertama, yang
dapat kami sebut sebagai tafsiran “epistemologis,” yakni tafsiran yang
mempunyai relevansi yang siginifikan dengan keseluruhan teori pengetahuan Mulla
Sadra seperti yang dikembangkan secara detail di dalam kirab al-Asfar. Akan tetapi, kami juga akan
menyinggung penafsiran kedua secara singkat, yakni tafsiran yang kami sebut
sebagai tafsiran “kosmologis” karena keterkaitannya dengan alam akal dan alam
jiwa, yang dengan penafsiran ini kita dapat lebih memahami penafsiran yang
pertama tadi.
Dalam penjelasan Mulla Sadra tentang alam
semesta, ceruk (al-misykat) yang
disebutkan di dalam ayat cahaya merujuk kepada alam korporeal (al-ajsam), kaca berarti singgasana (al-‘arsy), pelita (al-misbah) maksudnya Ruh Tertinggi (al-ruh al-a’zam), pohon (al-syajarah)
sebagai materi awal universal atau hyle
(al-hayula al-kulliyah), ) dan minyak dari pohon
zaitun (zaytuha) sebagai alam ruh
psikis (al-arwah al-nafsaniyyah).
Pohon yang dimaksud, yakni materi awal universal yang di dalamnya terdapat
entitas aqliyyah dan mala’ikah, secara aktual adalah realitas
material tubuh pisik dalam berbagai bentuknya. Meskipun demikian, defenisi ini
tidak bisa dinisbatkan kepada setiap tempat partikular, karena pohon yang
dimaksud terbentang dari titik akhir alam ruh sampai ke titik awal alam
korporeal. Oleh karena itu, Allah telah menjelaskan masalah ini dengan
mengatakan bahwa pohon tersebut tidak di timur: yakni alam akal dan alam ruh;
dan juga tidak di barat: yakni alam korporeal dan alam yang kasat mata.
Dan untuk frase “cahaya di atas cahaya,” Mulla
Sadra mengatakan bahwa cahaya pertama adalah cahaya kerahiman dan pengetahuan
Tuhan, sedangkan cahaya kedua adalah cahaya Ruh Tertinggi dan Akal Aktif. ) Dengan kata lain, salah
satu dari cahaya itu adalah cahaya Akal Aktif dan cahaya yang lainnya adalah
cahaya Jiwa Universal yang pada akhirnya menjadi cahaya al-‘Arsy. Oleh karena itu, keduanya akan menjadi “cahaya di atas
cahaya.” Dalam konteks yang sama, Sadra selanjutnya menjelaskan bagian akhir
ayat bahwa “Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki” adalah
sebagai suatu pertanda anugrah Allah terhadap wujud, dimana wujud tersebut
mewujud melalui pancaran cahaya kerahiman dari atas al-‘Arsy ke atas bumi ini.11)
Adapun penafsiran Mulla Sadra tentang
makrokosmos yang merujuk pada alam jiwa, sebagaimana yang dijelaskannya, lebih
banyak merujuk pada al-Isyarat wa
al-Tanbihat-nya Ibn Sina. Berikut adalah rangkumannya.
Jiwa rasional dalam pendakiannya menuju Alam
Ilahiyyah, harus melewati beberapa tahapan-tahapan perjalanan. Dalam memahami
pemikiran ini, maka ceruk dapat diartikan sebagai akal pertama (al-‘aql al-hayulani), yang karena
kegelapan esensinya, meskipun ia dapat menerima cahaya intelektif, tetap
tergantung pada derajat kesiapannya yang berbeda-beda. Kaca dapat diartikan
sebagai akal yang karena kejernihannya maka ia dapat menerima cahaya dengan
lebih baik, sama dengan bintang yang bersinar. Pohon zaitun bermakna fakultas
berfikir (al-quwwat al-fikriyyah,
cogitative faculty) dan refleksi (al-fikr)
karena ia siap menerima cahaya untuk dirinya sendiri. Pohon ini menjadi pohon
yang diberkati karena ia memuat defenisi segala sesuatu dan simpulan-simpulan
penjelasan yang benar. Pohon ini tidak di timur dan tidak di barat karena
proses berfikir terjadi di dalam makna universal dan bentuk mental. Di samping
itu, argumentasi rasional tidak bisa dihubungkan baik dengan wilayah barat
wujud indrawi yang material, maupun dengan wilayah timur alam Akal-Akal Aktif.
Adapun minyak (zaitun) menunjukkan intuisi (hads)
karena ia lebih dekat ke sumber cahaya di banding pohon zaitun itu sendiri.
Meskipun api, yang disebut Akal Aktif tidak menyentuh minyak zaitun tersebut,
namun seolah-olah minyak tersebut sudah memancarkan cahaya untuk dirinya
sendiri, itulah karenanya ia disebut akal di dalam aktualitas. “Cahaya di atas
cahaya” menunjukkan akal pahaman (al-‘aql
al-mustafad) ) karena bentuk-bentuk
pahaman adalah cahaya dan jiwa yang menerimanya adalah cahaya yang lain.
Demikian juga pelita, karena ia bercahaya dalam esensinya dan tidak memerlukan
cahaya, maka ia adalah akal dalam perbuatan (al-‘aql bi al-fi’l). ) Akal Aktif membimbing akal
dalam perbuatan, sama dengan api pelita yang ada di dalam ceruk. 12)
Dari dua penafsiran makrokosmos di atas, yang
pertama menjelaskan tentang alam semesta dan yang kedua menjelaskan alam jiwa,
juga terlihat di dalam risalah Mulla Sadra yang lain, namun lebih banyak di
pengaruhi oleh pemahaman sufistik yang diambil dari terminologi mistik Ibn
‘Arabi. Bagian relevan dari karya Ibn ‘Araby ini akan dijelaskan dibawah dengan
cara yang relatif mudah dimengerti, sehingga pembaca dapat melihat perbedaan
dan persamaan di antara kedua penafsiran tersebut.
Kalian harus memahami
bahwa al-‘Arsy adalah lokus
ketersingkapan diri Tuhan dan Ka’bah adalah penampakannya di muka bumi (ma’lamuhu). Allah memanggil hambaNya
untuk menyaksikan ketersingkapanNya melalui hati-hati mereka, sebagaimana Allah
memanggil hambaNya untuk menyaksikan penampakanNya dengan tubuh mereka. Jika
kalian sudah memahami masalah ini dengan baik, maka kalian harus tahu bahwa al-‘Arsy adalah hati alam ini, yakni
Manusia Agung (yaitu makrokosmos: al-insan
al-kabir), sementara al-kursi
adalah dadanya. Yang dimaksudkan dengan hati immateri dalam pembahasan ini,
sebenarnya adalah maqam jiwa yang bersih yang juga berarti hati yang dapat
memahami objek pahaman. Hati yang menyerupai gumpalan (di dalam dada manusia)
adalah lokus manifestasi dari jiwa yang bersih ini. Dengan penjelasan yang
sama, yang dimaksud dengan dada immateri adalah maqam ruh binatang yang juga
dapat memahami partikular-partikular, dimana dada pisik menjadi lokus
manifestasinya. Cara jiwa manusia menempati hati melalui pertimbangan dapat
dihubungkan dengan cara Yang Maharahim menempati al-‘Arsy-Nya melalui inayah (al-‘inayah)
dan kasih sayang. Permisalan seperti ini dapat pula diterapkan pada hubungan
antara hati pisik dengan al-‘Arsy
alam ini. Dengan cara yang sama, bagaimana jiwa binatang melakukan pengontrolan
di dalam dada yang mengatur substansi hati pisik sebagai tempat darah
bersirkulasi ke seluruh bagian tubuh, dapat pula dihubungkan dengan fakultas
malaikat (al-quwwat al-malakiyyah)
yang melakukan pengontrolan dengan izin Allah di atas al-kursi yang melingkupi substansi tujuh lapis langit sepanjang
pancaran cahayanya (bi anwariha
al-nafidhah). Dan selanjutnya, dada pisik merupakan analogi dari al-kursi korporeal. Pahamilah apa yang
telah saya sampaikan kepada kalian dan berpeganglah pada kebenaran, karena keterhubungan
dengan kebenaran adalah hal yang paling utama. 13)
Ketahuilah bahwa Allah
itu Maha Tinggi, yang memberikan kepada manusia seluruh fakultas-fakultas alam,
Dia menciptakan manusia setelah penciptaan seluruh makhluk yang inheren secara
esensial dan universal di dalam dirinya. (Inilah yang telah difirmankanNya)
“(Dialah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. (QS. 32:7). Ayat ini berarti bahwa,
Allah telah mewujudkan (ajwada) di
dalam diri manusia segala unsur yang sederhana maupun senyawa-senyawa kompleks
yang ada di dunia ini, juga bahwa di dalam diri manusia mewujud entitas-entitas
spiritual, seluruh makhluk, dan semua ciptaan duniawi. Dengan demikian, karena
manusia mempunyai semua kekuatan alam, maka manusia menjadi contoh sempurna (epitome) atau penjelmaan al-Kitab yang kata-katanya sedikit namun
memiliki makna yang sangat dalam. Atau manusia seperti air susu, minyak wijen
dan minyak zaitun. Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa “Cahaya Allah di dalam hati
orang-orang yang beriman seperti ceruk di dalam kaca yang di dalamnya terdapat
pelita.” Ceruk ini adalah tubuh manusia dan kaca adalah ruh hewani yang mirip dengan cermin karena
kebersihannya. Minyak adalah kekuatan suci yang merupakan wujud paling sempurna
dari akal pertama. Akal pertama adalah tingkatan pertama jiwa rasional dan
tingkatan terakhir jiwa yang memahami (al-nafs
al-hassah). Adapun pohon yang diberkati adalah fakultas berfikir (al-quwwat al-fikriyyah) yang merupakan wujud
paling sempurna dari fakultas imajinasi (al-quwwah
al-khayaliyyah). 14)
Sekarang kita kembali ke penafsiran pertama
Mulla Sadra yang telah kita sebutkan sebagai interpretasi epistemologisnya.
Selanjutnya, kita akan melihat perujukan umum di dalam halaman-halaman Tafsir
Mulla Sadra dan juga dalam karya-karya Sadra yang lain.
Harus diingat bahwa Mulla Sadra dalam penafsiran
epistemologisnya tentang ayat cahaya, memberikan penekanan yang sama tentang
transformasi esensial dan substansial jiwa untuk mencapai kesempurnaan seperti
yang telah dijelaskannya pada ayat “amanah” (QS 33:72). Mulla Sadra mengatakan,
sebagai konsekuensi dari kearifan Sang Pencipta, maka segala sesuatu akan
mengalami perjalanan alamiah tertentu yang merupakan evolusi pendakian menuju
“kebaikan terakhir” (al-khair al-aqsa)
dan “tujuan terbaik” (al-maqsad al-asna).
Sadra melanjutkan penjelasan dengan memberikan contoh, misalnya makanan, atau
zat gizi, keduanya melewati berbagai tingkatan perkembangan yang berbeda-beda.
Pada setiap tingkatan dan alam, makanan akan memasuki tingkatan tersebut dan
akan dinamai dengan sebutan tertentu sehubungan dengan keadaannya. Pada
tingkatan terendah, makanan tersebut hanya berupa unsur (‘unsur) saja. Setelah mengalami perubahan-perubahan, unsur tersebut
akan berubah menjadi senyawa di dalam benda-benda mati misalnya biji-bijian,
roti, dan minyak. Selanjutnya, melalui fungsi-fungsi tertentu, senyawa tadi
akan berubah menjadi darah dan cairan lainnya. Perubahan selanjutnya, makanan
yang berasal dari unsur tadi akan menjadi daging, tulang rawan, dan otot yang
kemudian akan menjadi udara yang sangat halus. Setelah itu, makanan tersebut
akan menjadi sesuatu yang bisa dirasakan (sentient)
dan menjadi bentuk indrawi; kemudian menjadi bentuk estimatif dan bentuk
intelektif. Bagi Mulla Sadra, proses ini akan berlanjut terus menerus sampai
pada derajat dimana ia dapat menyaksikan cahaya Allah dan melihat sifat-sifat
dan nama-nama Allah.
Di dalam konteks evolusi inilah Mulla Sadra
menjelaskan ayat cahaya yang berhubungan dengan epistemologinya. Mulla Sadra
juga menempatkan beberapa tema-tema teknis ayat cahaya ini di dalam cara
tertentu sehingga penjelasannya sesuai dengan tingkatan-tingkatan evolusi dan
memberi nama tingkatan-tingkatan tersebut. Keseluruhan proses evolusi ini
terentang dalam beberapa tingkatan yang berbeda-beda, ada proses yang terjadi
di dalam alam “penciptaan” (al-‘alam
al-khalqiyyah) dan ada yang terjadi di dalam alam “perintah” (al-‘alam al-‘amriyyah). Dan dalam
hubungannya dengan setiap tingkatan dalam proses tersebut atau “dengan setiap
hijab (kiswah) baru yang menutupinya
dan setiap wujud baru yang dicapainya, terdapat nama-nama tertentu yang sesuai
dengan keadaan tersebut.” 15)
Jika ayat cahaya dijelaskan di dalam konteks
evolusi Mulla Sadra seperti di atas, maka pemahaman ayat tersebut adalah
sebagai berikut. Pohon zaitun di dalam ayat cahaya menunjukkan makanan dan zat
gizi yang dimakan oleh manusia dan kemudian masuk ke dalam tubuhnya. Ceruk
menjadi simbol dari tubuh manusia karena sifatnya yang buram dan hitam. Tubuh
ini menerima cahaya tidak samarata tergantung pada perbedaan tempatnya, apakah
berada di bagian luar tubuh atau pada bagian-bagian tubuh yang tersembunyi.
Adapun untuk kaca, ia menyimbolkan hati manusia yang berbentuk rongga yang
menjadi tempat ruh hewani, yang dalam
ayat cahaya diumpamakan sebagai minyak. Pelita menunjukkan ruh psikis (al-ruh al-nafsaniyyah) yang diterangi
oleh jiwa manusia. Ruh ini, karena kedekatannya pada alam tak tampak dan alam malakut, maka minyaknya hampir-hampir
bercahaya walaupun tidak ada api yang menyentuhnya. Sifat ini juga disebabkan
oleh kenyataan bahwa esensi penyebab-penyebab (al-‘ilal al-dzatiyyah) bukanlah sesuatu yang eksternal terhadap
esensi akibat (dzawat al-ma’lulat).
Di samping itu, ruh psikis yang menerima cahaya dari jiwa manusia, tidak
memerlukan penyebab eksternal bagi esensinya meskipun ruh psikis tersebut
memerlukan cahaya dari Akal Aktif. Seolah-olah, ruh psikis itu sudah cukup
untuk dirinya sendiri, karenanya ia terlepas dari penyebab eksternal. 16)
Mulla Sadra melanjutkan bahwa kaca di dalam ayat
cahaya yang dijelaskan sebagai “bintang yang bersinar” merupakan perumpamaan
dari “hati” karena ia disinari oleh dan diisi dengan cahaya ruh hewani. Ruh ini berasal dari pohon yang
diberkahi, karena materialnya, sebagaimana minyak yang diperoleh dari perasan
zaitun, berasal dari saripati tumbuhan dan pepohonan setelah sekian tahapan
transformasi. Melalui ayat ini, Allah memberikan sebuah permisalan tentang
manusia yang memiliki iman kepadaNya dan manusia yang telah melewati
tahapan-tahapan penyempurnaan melalui ‘irfan
dan perjalanan kepadaNya. Tingkatan kesempurnaan tertinggi yang bisa dicapai
oleh seseorang adalah suatu titik dimana dia bisa menjadi “Manusia Sempurna” (al-insan al-kamil), tentunya setelah dia
melewati semua tahapan-tahapan yang dimulai dari “makanan” atau “saripati” yang
disimbolkan dengan “pohon zaitun,” sampai “bertemu denganNya” yang diumpamakan
dengan “cahaya di atas cahaya.” 17)
Oleh karena itu, kesempurnaan tertinggi dalam pandangan Mulla Sadra adalah
maqam Manusia Sempurna yang merupakan sebaik-baik ciptaan dan hamba. (lihat
bagan 1)
Setelah mendiskusikan secara panjang lebar
mengenai perkembangan jiwa di dalam konteks transformasi menuju kesempurnaan,
Mulla Sadra kemudian menjelaskan sifat-sifat dasar jiwa serta tubuh manusia
dengan cara yang sistematik. Mulla Sadra menjelaskan masalah ini dengan
memberikan rangkuman yang kurang lebih sama dengan para pendahulunya, khususnya
pandangan Ibn Sina yang dijelaskan dengan rinci di dalam kitab al-Syifa’ pada bagian pembahasan aspek
psikologis (al-nafs atau De Anima). Namun, perbedaan penting di
antara mereka di samping beberapa perbedaan lainnya adalah, menyangkut
fakultas-fakultas dan fungsi jiwa yang dalam hal ini Mulla Sadra lebih
menekankan pada hati dibandingkan Ibn Sina. Tentu saja, penekanan Mulla Sadra
ini disebabkan oleh kecenderungannya terhadap ‘irfan dan sufisme, walaupun Sadra dikenal bukan salah seorang tokoh
yang banyak terlibat di dalam sufisme tersebut. Menurut Mulla Sadra, organ
pertama yang diciptakan pada tubuh manusia adalah hati yang sekaligus menjadi
organ yang paling terakhir dihancurkan. Di dalam hati yang berbentuk daging
inilah pertama kali muncul wujud awal (nasy’at)
fakultas manusia yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda dalam
proses penyempurnaannya. Hati ini, yang dalam realitasnya adalah tubuh hewan,
digunakan oleh jiwa melalui medium uap-uap halus (the subtle vapors) yang terpancar dari hati tersebut. Semua bagian
tubuh yang lain diciptakan untuk melayani, dan juga untuk melindungi hati ini.
Itulah karenanya, hati diletakkan di bagian tengah pada tubuh manusia.
Ruh halus pertama yang dipancarkan dari hati
adalah ruh hewani (al-ruh al-haywani)
atau ruh hidup (the vital spirit).
Selanjutnya ruh kedua tercipta dari yang pertama ini dengan wujud yang lebih
halus, itulah ruh psikis (al-ruh
al-nafsaniyyah) yang kemudian diikuti oleh ruh tumbuhan (al-ruh al-nabatiyyah), yakni fakultas
dan dasar bagi pertumbuhan dan reproduksi. Setelah kesemua ruh tersebut
terwujud, barulah tercipta jiwa hewani (al-nafs
al-haywaniyyah).
Dari jiwa hewani diciptakan fakultas pertama,
yakni fakultas indra (the tactile faculty)
yang kemudian diikuti oleh jiwa-jiwa perasa (al-nufus al-hissiyah) menurut tingkatan-tingkatannya. 18) Pada bagian ini, kita
akan melihat kehati-hatian Mulla Sadra terhadap karakterisasi fakultas-fakultas
indra (al-quwwah al-hissiyyah atau mudrikah) yang dibuat oleh Ibn Sina
sebagai jiwa-jiwa indrawi, yang menunjukkan kekonsistenan Mulla Sadra di dalam
sistem epistemologisnya. Hal itu karena, seperti yang akan kita lihat nanti,
apa yang aktif di dalam proses persepsi dan penciptaan pengetahuan menurut
Mulla Sadra adalah jiwa dan bukan fakultas-fakultas jiwa sebagaimana yang
dipahami oleh banyak mazhab Peripatetik termasuk Aristoteles dan Ibn Sina. 19) Oleh karena itu,
penyebutan “jiwa-jiwa” fakultas-fakultas perseptif di dalam filsafat Mulla
Sadra lebih tepat jika dihubungkan dengan terjadinya persepsi.
Dengan cara yang sama, Mulla Sadra juga
menjelaskan dua fakultas lain yang diciptakan dari jiwa hewani sebagai
“jiwa-jiwa imajinatif” (al-nufus
al-khayaliyyah) dan “jiwa-jiwa estimatif” (al-nufus al-wahmiyyah), Sadra tidak menyebutnya sebagai
“fakultas-fakultas imajinatif dan fakultas-fakultas estimatif (sebagaimana Ibn
Sina). Dalam masalah ini, Mulla Sadra mengatakan:
Di dalam jiwa hewani
diciptakan berturut-turut jiwa-jiwa indrawi dengan semua
tingkatan-tingkatannya, jiwa-jiwa imajinatif dengan semua
tingkatan-tingkatannya, dan kemudian jiwa-jiwa estimatif juga dengan semua
tingkatan-tingkatannya. Semua jiwa-jiwa ini sepenuhnya adalah jiwa hewani
karena semuanya mempunyai hubungan dengan sifat-sifat hewan. Setelah itu
diciptakan jiwa rasional malaikat (al-nafs
al-natiqah al-malakiyyah) yang merupakan salah satu cahaya immaterial Allah
yang terbentang dari alam semesta ini sampai ke alam akhirat. 20)
Jiwa rasional menurut Mulla Sadra, memiliki
beberapa tingkatan. Pada tingkatan pertama terdapat akal material pertama (al-‘aql al-hayulani). Akal pertama
adalah akal yang berfungsi sebagai benih dari pohon akal dan ma’rifat, dan
sebagai biji buah-buahan pengetahuan ‘irfan
dan iman. Dari akal pertama ini diciptakan akal persiapan (al-‘aql al-isti’dadi) yang kemudian diikuti berturut-turut oleh akal
dalam perbuatan (al-‘aql bi al-fi’l),
akal pemahaman (al-‘aql al-mustafad),
dan terakhir akal aktif (al-‘aql al-fa’al).
Dari keseluruhan akal ini, hanya akal aktif-lah yang berhubungan dengan
objek-objek pahaman murni (pure
intelligibles) dan cahaya, juga dari dalam akal aktif terpancar realitas wujud
dan sifat-sifat yang paling dalam (asrar).
21) Tentang tahap
pemunculan dan perkembangan jiwa rasional, sampai saat ini Sadra kelihatannya
mengikuti secara teknis pemahaman para pendahulunya jika sekiranya kita
mengabaikan kehati-hatiannya dalam mengelaborasi dan modifikasinya yang
mencolok untuk beberapa kasus tertentu. Namun, sampai sekarang belum jelas
mengapa Mulla Sadra banyak merujuk secara literal kepada Ibn Sina dalam
konsepnya tentang jiwa. Apakah hal itu disebabkan karena dalam pandangannya
konsep tersebut sudah benar? Seperti yang akan kita dalam penjelasan
berikutnya, keseluruhan epistemologi Mulla Sadra tidak memberikan suatu jawaban
dalam masalah ini. Sesuatu yang mungkin menarik dalam pandangan Mulla Sadra
dalam masalah ini bukanlah teori jiwa-nya Ibn Sina, tetapi lebih pada
penjelasannya tentang jiwa dan proses penyempurnaannya. Yakni, setelah jiwa
rasional diciptakan dari uap halus di dalam gumpalan hati pisik, ia kemudian
melalui berbagai tahapan perkembangan dari jiwa tumbuhan, jiwa hewan, sampai
semua tahapan untuk kemudian menjadi akal tertinggi. Proses ini merupakan
tahapan-tahapan transformasi jiwa dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya,
atau yang dalam istilah Mulla Sadra, dari satu wujud ke wujud lainnya. Bagi
Mulla Sadra, bukan fakultas yang menyempurnakan jiwa sebagaimana yang dipahami
oleh Ibn Sina. Sebaliknya, penyempurnaan jiwa dilakukan oleh jiwa itu sendiri,
yakni ketika jiwa menjadi subjek dalam proses transformasi menuju kesepurnaan.
Untuk itu, kami akan memberikan kutipan yang cukup panjang dari karya Mulla
Sadra yang berjudul Syawahid
al-Rububiyyah, tempat dimana Mulla Sadra pertama kali menggunakan istilah
“jiwa Adam” (al-nafs al-Adamiyyah)
untuk jiwa rasional, istilah yang kesempurnaan transformatifnya kemudian
dijelaskan oleh Mulla Sadra di dalam bahasa yang relatif psikologis.
Jiwa Adam, selama ia
menjadi embrio di dalam rahim, maka ia masih merupakan jiwa tumbuhan. Ketika
bayi dilahirkan oleh ibunya, sebelum mencapai kedewasaan formal (al-bulugh al-suri), jiwa Adam merupakan sebagian jiwa hewani dan
sebagiannya lagi masih merupakan jiwa tumbuhan. Setelah itu, jiwa Adam menjadi
jiwa rasional meskipun ia memiliki kesiapan secara potensial untuk mencapai
batasan maksimal jiwa yang suci dan akal dalam perbuatan. Ketika jiwa Adam
mencapai umur empat puluh, yakni waktu yang cukup untuk kematangan spiritual (al-bulugh al-ma’nawiyyah), jiwa Adam
tadi menjadi jiwa yang suci, yakni jiwa yang dibimbing oleh pertolongan Ilahi (al-tawfiq al-ilahi).
Embrio, selama ia masih
berada dalam kandungan, maka secara aktual dia dalam keadaan tidur dan secara
potensial dia adalah jiwa hewani. 22)
Ketika dia sudah keluar dari rahim ibunya sampai mencapai kedewasaan, secara
aktual dia adalah jiwa hewani dan secara potensial dia adalah jiwa manusia. Dan
ketika dia sudah mencapai kedewasaan, maka secara aktual dia adalah manusia dan
secara potensial dia adalah malaikat. 23)
Jelas kemudian bahwa Mulla Sadra sangat
menekankan pertama-tama dan terutama pada masalah transformasi jiwa menuju
kesempurnaan, bukan menjelaskan secara detail sifat-sifat fakultas-fakultasnya
dan bukan pula masalah pembentukannya. Apapun istilah yang kita sebutkan dan
apapun sifat yang kita nisbatkan, apakah disebut jiwa Adam ataupun jiwa
rasional, hal itu tidak berbeda dalam pandangan Mulla Sadra kecuali bahwa kedua
istilah tersebut mengacu pada subjek yang sama yakni realitas wujud manusia.
Mulla Sadra kelihatannya menekankan masalah ini pada bagian lain karyanya yang
dikutip di atas, dimana Sadra mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga
bagian dan setiap bagian tersebut menjadi bagian dari wujud yang berbeda. Yang
pertama merupakan bagian dari substansi dunia ini, yang kedua menjadi bagian
dari alam penantian (barzakh), dan
yang ketiga menjadi bagian dari alam suci. Untuk menjelaskannya dengan cara
yang lain, dapat dikatakan bahwa jiwa manusia itu berupa sifat (tab’) di dunia ini, adalah jiwa pada
alam barzakh, dan akal pada alam yang
ketiga dalam terminologi filsafat (al-hikmah)
atau ruh di dalam istilah syari’ah.
Kata Mulla Sadra, jika kamu menginginkan, kamu bisa menyebut “dada” untuk
pertama, “hati” untuk yang kedua, dan “cahaya” untuk yang ketiga. 24)
Mulla Sadra menambahkan bahwa karena jiwa
manusia adalah realitas tunggal untuk wujud manusia, maka jiwa tersebut menjadi
spesies tunggal di dalam wujud yang sekarang (alam dunia), sementara pada wujud
kedua, yakni di alam barzakh, jiwa
bisa menjadi beberapa spesies bahkan sampai jumlah yang tak terbatas meskipun
pada akhirnya dapat dimasukkan ke dalam empat genera. ) Jiwa tersebut bisa menjadi
salah satu dari genus malaikat jika
ia didominasi oleh sifat pengetahuan dan kearifan; atau salah satu dari genus setan jika ia dikuasai oleh
sifat-sifat badaniyah dan nafsu; atau salah satu dari genus binatang buas jika didominasi oleh sifat amarah, dendam, dan
keserakahan pada kekuasaan. 25)
Mari kita kembali kepada penafsiran Mulla Sadra
tentang ayat cahaya. Jika kita lihat kembali, maka Mulla Sadra menyebutkan tiga
tingkatan jiwa dan akal dalam hubungannya dengan transformasi menuju
kesempurnaan. Selanjutnya Mulla Sadra menegaskan pentingnya tahapan-tahapan
evolusi ini bagi penyempurnaan manusia. Dengan cara yang mirip sufi, Mulla
Sadra mengatakan bahwa manusia seolah-olah berada dalam suatu perjalanan (suluk), mendaki semua tahapan-tahapan
tersebut, sampai kemudian dia mencapai batas paling akhir darimana pada awalnya
dia berasal. Di dalam perjalanan ini, di setiap tempat yang dia datangi,
terdapat obat dan makanan tersendiri. Beberapa dari makanan dan obat yang
memberinya kekuatan ini bisa datang dari tubuh dan sesuatu yang bersifat
ragawi; beberapa lainnya berasal dari indra dan sesuatu yang bersifat indrawi;
yang lain juga bisa berasal dari fantasi dan sesuatu yang bersifat imajinasi,
terkaan, dan keyakinan; pun bisa berasal dari akal dan yang bisa dipahami oleh
akal, dari penyaksian dan yang tersaksikan. Lebih dari itu, selama manusia
berada di alam korporeal ini, maka dia harus menerima makanan yang sesuai
dengan apa yang harus diberinya makanan, apakah itu bentuk, materi maupun
fakultasnya. Dengan kata lain, bentuk harus diberi makanan oleh bentuk, materi
diberi makanan oleh materi, fakultas harus diberi makanan oleh fakultas, dan
indra diberi makanan dengan sesuatu yang bersifat indrawi. Di samping itu,
setiap organ memerlukan takaran tertentu dalam makanan yang dibutuhkannya. 26)
Setelah menjelaskan masalah ini, Mulla Sadra
kemudian menggambarkan suatu analogi antara fungsi fakultas nutritif (al-quwwat al-ghadiyyah) di dalam tubuh
dengan fungsi fakultas intelektif (al-quwwah
al-‘aqilah) di dalam jiwa. Untuk fakultas yang pertama, fungsinya adalah
untuk memperkuat tubuh manusia melalui makanan pisik; sedangkan fakultas kedua
berfungsi untuk memperkuat (tajawwara)
jiwa dan esensinya dengan materi intelektual dan makanan yang memuat
pengetahuan (ilmiyyah). Sadra
kemudian mengembangkan bahwa ada suatu kesamaan antara tubuh dan jiwa di dalam
masalah-masalah umum. Cara tubuh manusia mencapai kesempurnaan dengan
instrumen-instrumen yang menyempurnakannya, sama dengan cara jiwa mencapai
kesempurnaan tersebut dengan makanan spiritual (nafsaniyyah) dan gizi intelektual. 28)
Dari pemahaman spesifik ini, Mulla Sadra mulai
membahas fungsi jiwa yang berhubungan dengan peranan fakultas-fakultasnya dalam
proses penyempurnaan. Jiwa, dengan perantaraan fakultas perseptif, membawa
bentuk-bentuk indrawi ke dalam dirinya sendiri. Setelah itu, proses pertama
yang dilakukannya adalah mengurai bentuk-bentuk tersebut dari ketidakmurnian
dan bagian-bagian materinya yang berlebihan dengan menggunakan fakultas
pengatur (mutasarrifah). Proses yang
dilakukan oleh jiwa dalam tahapan ini disebut “persepsi indra” (al-ihsas), yang pada dasarnya adalah
operasi aktif (tasarruf) pada bagian
jiwa dan menjadi penyempurnaan pasif bagi indra. 29)
Jiwa selanjutnya melakukan proses lain terhadap
bentuk (yang dibawa ke dalam jiwa melalui persepsi indra), yakni memisahkan
bentuk tersebut dari materi yang masih dimilikinya dengan cara yang lebih
sempurna. Inilah yang disebut “imajinasi” (al-takhyil)
dan “representasi” (taswir). Mulla
Sadra kemudian menegaskan, bahwa pada proses ini, bentuk tersebut sudah menjadi
bentuk yang sempurna dan telah menjadi makanan bagi fakultas imajinatif, persis
dengan objek indra yang menjadi makanan bagi fakultas indra.30) Jiwa kemudian melakukan
proses lain terhadap bentuk tersebut, yakni melepaskannya dari materi dan semua
aksiden-aksidennya. Tetapi, jika bentuk tersebut berhubungan dengan materi
partikular, bentuk tersebut masih memiliki sedikit keterkaitan dengan materi
tersebut. Proses inilah yang disebut “penilaian” (tawahhum). 31)
Jika sesaat setelah proses “penilaian” jiwa melakukan proses lain, maka pada saat
itu jiwa melepaskan bentuk tersebut dari semua keterhubungan terhadap materi
dan aksiden-aksidennya, demikian juga dengan seluruh sifat-sifat tambahan (attachments) dan ketergabungannya dengan
yang lain (affiliations). Dengan
demikian, bentuk tersebut menjadi saripati murni, yang benar-benar menjadi
objek pahaman bagi akal yang paling tinggi, yakni malaikat-malaikat Allah.
Karena bentuk tersebut telah disucikan dari segala aspek materi dan
keterhubungan dengan aksiden, maka bentuk tersebut menjadi siap untuk proses
inteleksi. Inilah yang dikatakan oleh Mulla Sadra sebagai kearifan Allah “yang
menciptakan fakultas intelektif untuk memahami (‘aqil) dan untuk melakukan aktivitas terhadap objek indra dan
menjadikannya dapat dipahami oleh akal (ma’qul)
32)
Tentu saja, fakultas intelektif ini pada
hakikatnya adalah jiwa rasional yang bagi Mulla Sadra adalah pelaku aktif (active agent) di dalam proses persepsi.
Adapun fakultas-fakultas lain, misalnya imajinatif dan estimatif, kelihatannya
berfungsi hanya di dalam penampakan saja, atau mungkin di dalam aktifitas pasif
saja. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulla Sadra pada tempat yang lain,
kapanpun jiwa menghubungkan dirinya dengan entitas indrawi, maka jiwa tersebut
akan mengarahkan indra tertentu kepada objek tersebut sehingga indra akan serta
merta membawa objek tersebut ke dalam jiwa tanpa perlunya waktu dan tanpa
adanya usaha dan tantangan yang menghalanginya. Lebih dari itu, indra bahkan
tidak dapat mengetahui jika objek indrawi itu mempunyai wujud eksternal. Inilah
(hak) prerogatif jiwa yang paling utama. 33)
Mulla Sadra juga mengatakan bahwa kelima indra
atau fakultas yang dimiliki manusia, semuanya tunduk dan mengabdi kepada jiwa
rasional, sebagaimana halnya ketundukan dan kepatuhan para malaikat kepada
Allah Swt. Para malaikat tersebut, berbeda dengan manusia yang diberikan keinginan,
tidak mempunyai pilihan dalam ketundukan tersebut. Ketaatan para malaikat
kepada Allah menjadi suatu kebutuhan penting dan bagian dari wujud mereka
sendiri. 34)
Bahkan, Mulla Sadra menjelaskan pandangannya
lebih jauh dengan mengabaikan teori Ibn Sina tentang abstraksi yang mensifatkan
suatu aturan instumental yang sangat signifikan terhadap fakultas eksternal dan
internal jiwa di dalam terjadinya persepsi indra dan penyerapan pengetahuan.
Berbeda dengan pandangan Ibn Sina yang mengatakan bahwa fakultas-fakultas
(manusia) memisahkan gambaran-gambaran dari objek eksternal kemudian
mengirimkannya ke dalam fakultas internal yang selanjutnya dijadikan sebagai
bentuk immaterial di dalam proses inteleksi oleh jiwa rasional, Mulla Sadra
justru mempertahankan pendapat bahwa jiwa rasional sendirilah yang melakukan
semua proses-proses tersebut dengan cara memerintahkan keterlibatan indra untuk
mengirimkan bentuk-bentuk indrawi ke dalam jiwa rasional. Di dalam proses
tersebut, jiwa menjadi pelaku aktif (active
agent), sementara fakultas menjadi pelaku pasif di dalam ketaatan dan
pengabdiannya kepada jiwa. Salah satu alasan mendasar Mulla Sadra dalam menolak
teori abstraksi Ibn Sina adalah, bahwa jiwa selama proses abstraksi berlangsung
di anggap statis dan dan dalam keadaan istirahat sementara objek-objek persepsi
dikirimkan dan ditransformasikan oleh fakultas-fakultasnya. 35) Tentu saja, teori
seperti ini menganggap bahwa jiwa menjadi tidak aktif dan tidak berbuat apa-apa
(inoperative), sehingga Mulla Sadra
kemudian menolaknya. Hal ini karena dalam pandangan Mulla Sadra, jiwa-lah yang
menjadi pelaku fungsional ril dan selalu mengalami transformasi wujudal.
Sekali lagi, Mulla Sadra menolak pendapat umum
bahwa jiwa adalah satu di dalam esensi dan derajat, dan bahwa objek persepsi
bermacam-macam di dalam wujud dan berbeda di dalam abstraksi dan korporealitas.
Mulla Sadra tidak menerima teori seperti ini, karena dalam pandangannya, setiap
fakultas perseptif menjadi bentuk yang dipersepsinya selama proses persepsi
aktualnya. 36)
Dengan pembicaraan yang lebih mendalam, Mulla
Sadra menjelaskan bahwa jiwa manusia mempunyai dua gerakan yang berbeda,
gerakan pertama adalah penurunan dan yang kedua adalah peningkatan. Gerakan
penurunan terjadi selama persepsi jiwa terhadap objek-objek indra, sementara
gerakan pendakian terjadi ketika jiwa sedang memahami objek-objek akal. Mulla
Sadra menjelaskan:
Ketika jiwa manusia
memahami objek-objek indra, maka jiwa tersebut turun ke level indra.
Konsekuensinya, jiwa tersebut menjadi esensi (‘ayn) fakultas penglihatan selama penglihatannya dan menjadi esensi
fakultas pendengaran ketika sedang mendengar. Proses ini terjadi pada
indra-indra berikutnya, sampai kepada fakultas terendah yang menyebabkan gerak
pada otot dan jaringan tubuh. Dengan cara yang sama, jiwa manusia selama
mempersepsi objek-objek akal, maka jiwa tersebut akan menanjak ke level dan
menyatu dengan akal aktif melalui cara tertentu yang hanya orang-orang yang
benar-benar memahami hakikat pengetahuan (al-rasikhun
fi al-‘ilm) yang dapat mengetahuinya. 37)
Menurut Mulla Sadra, adalah sifat dasar jiwa
manusia untuk dapat mempersepsi semua realitas penciptaan dan menyatukan
dirinya dengan realitas-realitas tersebut dalam penyatuan yang immaterial.
Juga, adalah sifat dasar jiwa manusia untuk bisa menjadi akal yang sederhana (a simple intellect), dapat mengetahui
dan mampu memahami. “Bentuk setiap wujud yang bisa dipahami oleh akal, demikian
juga makna (ma’na) setiap eksisten
korporeal, keduanya dapat menjadi wujud yang lebih tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan wujud pisiknya.” 38)
Jiwa disatukan dengan setiap bentuk objek indra dan objek akal yang secara
aktual dipersepsinya. Bahkan, penyatuan seperti ini menjadi keharusan bagi jiwa
dalam penyatuannya dengan akal aktif. Mulla Sadra kelihatannya mempertegas
pandangannya ini di dalam Risalah Ittihad
al-‘Aqil wa al-Ma’qul dimana Mulla Sadra menjelaskan,
Wahai orang-orang
pandai dan berakal! Lihatlah entitas jiwa dan perhatikanlah tahapan-tahapan
perkembangan dan wujud-wujud wujudalnya dengan hati-hati. Jiwa, pada setiap
tahapan perkembangannya, akan menjadi wujud yang menyatu dengan kelompok
eksisten yang mempunyai tahapan perkembangan yang sama. Artinya, jiwa yang
menyatu dengan tubuh akan bersifat seperti tubuh; yang menyatu dengan indra
akan bersifat seperti indra; yang menyatu dengan imajinasi akan bersifat
seperti imajinasi; dan ketika menyatu dengan akal akan bersifat seperti akal.
Hal inilah yang menjadi sebab mengapa Allah berfirman di dalam Alquran: “Dan
tiada satupun jiwa (nafsun) yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. 31:34) Ketika jiwa tersebut
menyatu dengan alam, maka ia akan menjadi esensi (‘ayn) bagian-bagiannya (the
limbs). Ketika jiwa menyatu dengan indra secara aktual, ia akan menjadi
esensi bentuk-bentuk yang diimajinasikannya. Proses ini akan terjadi terus
menerus sampai jiwa tersebut secara aktual mencapai tingkatan yang selevel
dengan akal, tingkatan dimana ia akan menjadi esensi bentuk-bentuk objek akal
yang secara aktual telah mewujud di dalamnya. 39)
Jika kita merangkum semua yang telah dijelaskan
oleh Mulla Sadra tentang sifat-sifat jiwa dan proses penyempurnaannya dalam
tulisan ini, maka kita dapat membuat kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, jiwa adalah materi tubuh yang terpancar
sebagai uap-uap halus di dalam hati yang berbentuk gumpalan. Meskipun di dalam
esensinya jiwa adalah suatu entitas spiritual tanpa adanya ekstensi, namun jiwa
mengandung semua fakultas-fakultas makrokosmos secara universal. Kedua, jiwa yang mengada di dalam
aktualitas melalui dirinya sendiri, juga merupakan suatu wujud substansial yang
memahami (substansial perceiving being).
Karena dengan sifat dasarnya yang dapat memahami, jiwa tidak meminta bantuan
kepada fakultas-fakultasnya dalam suatu persepsi, tetapi justru mempersiapkan
kondisi untuk realisasi aktualnya dalam mempersepsi bentuk-bentuk. Ketiga, ketika jiwa secara aktif sedang melakukan suatu persepsi, maka ia
memasuki suatu kondisi perubahan transformasional, apakah perubahan itu
merupakan gerakan penurunan dalam hubungannya dengan objek-objek indra, ataupun
gerakan peningkatan dalam hubungannya dengan objek-objek akal. Selama proses
ini, jiwa tersebut menyatu dengan setiap bentuk yang dipersepsinya dan setiap
objek akal yang dipahaminya. Dan karena penyatuan tersebut adalah penyatuan
immaterial, maka jiwa menjadi esensi fakultas ketika terjadi persepsi tersebut
dan bahkan menjadi bentuk atau objek akal yang secara aktual telah
dipersepsinya. Tentu saja, proses ini menjadi proses penyempurnaan jiwa itu
sendiri.
Pertanyaan yang masih harus dijawab adalah
masalah loci (wadah) atau substrat (substrate)
bentuk-bentuk, jika loci tersebut memang ada. Dengan kata lain, dimana
bentuk-bentuk tersebut berada sebelum dan sesudah persepsi? Apakah
bentuk-bentuk tersebut inheren di dalam objek eksternal? Dimana bentuk-bentuk
tersebut bisa ditemukan secara aktual? Mulla Sadra tidak memberikan jawaban
eksplisit terhadap pertanyaan-pertanyaan ini di dalam tafsirnya tentang ayat
cahaya; namun, Mulla Sadra kelihatannya telah menyinggung masalah ini secara
implisit bahwa efek tidak mewujud secara esensial maupun inheren di dalam objek
pisik, efek tersebut hanya mewujud secara aksidental saja. Tujuan utama Mulla
Sadra dalam membahas ayat cahaya seperti yang kita lihat dalam tulisan ini,
bukanlah untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tadi, tetapi Mulla Sadra
lebih menitikberatkan penafsiran ayat cahaya secara mendalam hanya untuk
menjelaskan kemandirian jiwa serta penyempurnaannya. Dan karena masalah ini
telah dijelaskan secara rinci di dalam penjelasan tentang al-Asfar yang ditulis oleh Fazlur Rahman 40) serta beberapa peneliti kontemporer lainnya, 41) maka kita akan
menyinggung masalah ini secara ringkas saja dengan merujuk pada karya-karya
Mulla Sadra yang lain dan dari sudut pandang penyempurnaan jiwa.
Di dalam epistemologi mazhab Peripatetik, secara
umum disebutkan ada tiga elemen yang berperan di dalam setiap persepsi: objek,
organ indra atau fakultas, dan jiwa. Fungsi fakultas adalah melakukan kontak
pertama dengan objek dan kemudian mengabstraksikan gambaran objek tersebut,
lalu mengirimkannya ke dalam fakultas-fakultas penghubung untuk proses
selanjutnya sampai gambaran objek tersebut menjadi bentuk murni yang bisa
dipahami oleh jiwa rasional. Seperti yang telah kita jelaskan, tidak demikian
pandangan Mulla Sadra dalam hal ini. Bagi Mulla Sadra, meskipun organ indra
memegang peranan sebagai media dalam suatu persepsi, namun bentuk-bentuk yang
dipahami yang menjadi pengetahuan bukanlah bentuk-bentuk yang mewujud secara
eksternal, Mulla Sadra juga berpendapat bahwa bentuk-bentuk tersebut tidak
masuk ke dalam organ indra selama persepsi terjadi. Keterlibatan organ-organ
indra sebagai penghubung dengan objek hanyalah untuk proses persiapan,
sebagaimana yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, “suatu kondisi bagi proyeksi
bentuk dari dalam jiwa.” 42)
Lebih jelasnya, menurut Mulla Sadra, di dalam persepsi indra, jiwa menciptakan
bentuk-bentuk yang berkorespondensi dengan objek material eksternal ketika
objek tersebut mempengaruhi organ indra. Sebagai contoh, objek yang kita
sentuh, akan mempengaruhi organ peraba. Pengaruh ini akan mempersiapkan kondisi
tertentu, yang kemudian dalam kondisi tersebut, jiwa akan menciptakan bentuk
yang berkorespondensi dengan bentuk eksternal objek yang teraba tadi. Dengan
demikian, bentuk-bentuk yang dipahami tadi tidaklah inheren di dalam
objek-objek eksternal yang kemudian dipisahkan oleh indra. Inilah yang
dijelaskan oleh Mulla Sadra dengan contoh yang khusus,
Bentuk-bentuk yang
dilihat tidak tersimpan di dalam objek-objek penglihatan, tidak juga tersimpan
sebagai gambaran-gambaran pada permukaan atau di dalam ruang objek-objek
tersebut sebagaimana yang dipahami oleh mazhab Naturalis. Bentuk-bentuk
tersebut juga bukan suatu eksisten yang berada di luar cahaya penglihatan dan
menyatu dengan individual eksternal seperti yang dipahami oleh matematikawan.
Bentuk-bentuk tersebut juga bukanlah eksisten di alam mitsal (alam ide) sebagaimana yang dipahami oleh mazhab
iluminasionis. Sebaliknya, bentuk-bentuk tersebut mewujud di alam ini, tidak
secara esensial tetapi aksidental. Dan wujud yang dimiliki bentuk-bentuk
tersebut adalah bayangan wujud individual eksternal, yang tidak berbeda dengan
alam penciptaan. 43)
Karena bentuk-bentuk tersebut tidak eksis secara
eksternal, maka Mulla Sadra merasa tidak perlu membicarakan “penerimaan” (receptivity) jiwa. Bagi Mulla Sadra,
yang harus dibicarakan adalah “kreatifitas” jiwa karena pada hakikatnya jiwa
adalah pencipta dan pengaktual bentuk-bentuk yang dapat dipahami per se. Menjadi tidak perlu pula untuk
memperhatikan bahasan Ibn Sina tentang “kejadian” (occurence, husul)
bentuk-bentuk terhadap jiwa. Pandangan Ibn Sina ini hanya mungkin kita bahas
jika kita ingin memperjelas doktrin Mulla Sadra tentang penyatuan (ittihad) sebagaimana yang dijelaskannya
sendiri,
Tetapi jiwa “menerima”
bentuk-bentuk (objek pahaman) yang telah ada sebelumnya di dalam dirinya
sendiri melalui proses pengingatan kembali (al-hifz)
dan pemanggilan (al-istijab). Dalam
hal ini, tidak ada inkonsistensi antara “penerimaan” (qabuluha) dan “penciptaan” (fi’luha)
bentuk-bentuk ini oleh jiwa, karena pada saat yang sama dan dengan cara yang
sama, jiwa menciptakan dan menerima bentuk dan gambaran (al-amtsal) tadi dalam wujudnya masing-masing. Oleh karena itu,
semua pengetahuan (tentang objek-objek akal) Prinsip Pertama dan
Atribut-atributnya yang tersatukan dengan cara ini, mewujud di dalam jiwa dan
oleh jiwa karena “penerimaan” jiwa bukan berarti kesiapan potensial (al-quwwat al-‘isti’dadiyyah) dan bukan
pula sebuah kemungkinan (untuk menerima hanya satu bentuk khusus saja,
sebagaimana dengan penerimaan bentuk-bentuk material di alam eksternal yang
hanya bisa diterima satu bentuk saja). 44)
Seperti yang dikatakan oleh Morris, “kreatifitas
esensial jiwa (al-khallaqiyya al-nafs)
di dalam proses persepsi, merupakan prinsip paling dasar di dalam epistemologi
Mulla Sadra.” 45) Di
dalam terminologi teknis Mulla Sadra sendiri, kita mungkin dapat menggabungkan
antara kreatifitas dan reseptifitas jiwa di dalam satu prinsip tunggal,
sebagaimana Mulla Sadra sendiri telah menggabungkan bentuk indrawi aktual dan
jiwa yang memahami secara aktual. Karena itu, seseorang bisa menyebutkan
identitas-identitas lain untuk menunjukkan penyatuan di atas dengan istilah
yang lain pula: wujud dan cahaya; pengetahuan dan wujud; objek indra dan
persepsi indra (the sentient); yang
diimajinasikan dan imajinasi; akal dan objek akal. Semua penggabungan ini
adalah hasil dari transformasi substantif yang membawa wujud pada derajat
kesempurnaan yang paling tinggi.
Bahkan, penyatuan jiwa dengan semua bentuk objek
akal meniscayakan penyatuan jiwa dengan akal Aktif. 46) Penyatuan ini memiliki dimensi transendental di
dalam filsafat Mulla Sadra. Bagian berikut menjelaskan dimensi tersebut.
Hikmah dibalik
penyatuan (ittihad) adalah bahwa
ketika Allah menciptakan “suatu penyatuan intelektif” yakni alam akal dan
“suatu kejamakan korporeal” yakni alam indra dan alam imajinasi, maka
pertolongan Tuhan (al-‘inayah
al-ilahiyyah) membutuhkan diciptakannya “kesatuan wujud” (nasy’atun jami’atun) yang melaluinya
segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat dipahami. Oleh karena itu, Allah
menanamkan suatu fakultas yang halus di dalam jiwa yang esensinya sesuai dengan
“penyatuan komprehensif” ini. Dengan perantaraan fakultas yang sesuai, jiwa
dapat memahami “penyatuan” tersebut, yakni dengan Akal Aktif. (Allah juga
menanamkan di dalam jiwa suatu fakultas material dan korporeal lain yang
berkorespondensi dengan kejamakan korporeal (corporeal plurality) sehingga jiwa pun dapat memahami objek
korporeal tersebut sebagamana adanya. Namun, karena ketidaksempurnaan dan
kekurangan jiwa sehingga ia didahului kejamakan korporeal di dalam tahap awal
penciptaan, maka penyatuan intelektifnya masih merupakan entitas potensial sementara
kejamakan korporealnya sudah menjadi entitas aktif. Akan tetapi, jika esensi
dan aktualitas jiwa sudah mengalami penguatan, maka sisi penyatuan itu akan
meliputinya. Konsekuensinya, jiwa kemudian menjadi akal dan dan objek akal
sekaligus setelah menjadi indra dan objek indra terlebih dahulu. Dengan
demikian, jiwa mengalami suatu gerakan substansial (atau transformasi) dari
wujud pertama menjadi wujud kedua dan seterusnya. 47)
Sebagai ringkasan, di dalam setiap jenis
persepsi, terdapat suatu transformasi yang di dalamnya subjek yang mempersepsi
(the percipient agent)
ditransformasikan dari level eksisitensinya ke level yang dipersepsinya dimana
pada proses ini subjek dan objek persepsi akan menyatu satu sama lain. Karena
jiwa menjadi pemimpin pelaku aktif dan ia menyatu dengan “semua fakultas,” 48) maka semua transformasi ini terjadi di dalam jiwa
itu sendiri yang menyebabkannya menjadi sumber semua kesempurnaan (al-kamalat) dan akibat-akibat (al-atsar). Dalam hal ini,
fakultas-fakultas adalah wujud-wujud (syu’un)
atau manifestasi (mazahir) jiwa. 49) Itulah karenanya Mulla
Sadra sangat keras dalam tesisnya bahwa “satu-satunya kesempurnaan jiwa adalah
ketika ia mengaktualkan (atau menciptakan, taf’alu)
bentuk-bentuk dan ketika ia membuat bentuk-bentuk tersebut “dapat dipahami” (mudrikatun) oleh jiwa itu sendiri.” 50) Dengan demikian, jiwa
mencapai kesempurnaan bukan hanya dengan mengontrol semua indra dan
fakultasnya, tetapi juga dengan menjadi pelaku aktifitas terhadap objek-objek
indra, yakni dengan menghadirkan objek-objek indra tersebut di dalam dirinya
sendiri, menjadikannya objek pahaman akal (ma’qul)
sekaligus menjadikannya sebagai subjek yang memahami (‘aqil).51)
BAGAN 1
EVOLUSI KESEMPURNAAN
Penyaksian Cahaya Tuhan
(Cahaya di atas Cahaya)
Bentuk Estimatif dan Intelektif
Bentuk Indrawi dan Pahaman
Uap Halus Yang Hangat
Daging dan Otot
Darah dan Senyawa Yang Baik Untuk Kesehatan
Benda Mati
Unsur
Saripati Gizi dan Makanan (Pohon Zaitun)
BAGAN 2
JIWA
DAN DERAJAT-DERAJATNYA
al-Ruh al-Haywani
Fakultas Perasa
Jiwa-jiwa Indrawi
(al-Nufus al-Hissiyyah)
Jiwa-jiwa Imajinatif
(al-Nufus al-Khayaliyyah)
Jiwa-jiwa Estimatif
(al-Nufus al-Wahmaniyyah)
|
|
al-Ruh al-Nafsani
al-Nafs
al-Nabatiyyah
al-Nafs
al-Haywaniyyah
Jiwa Rasional Malakut
(al-Nafs al-Natiqa
al-Malakiyyah)
Akal material (al-`aql
al-hayulani)
Akal Potensial
((al-`aql al-isti`dadi)
Akal Dalam
Perbuatan (al-`aql bi’l-f`il)
Akal Pahaman (al-`aql
al-mustafad)
Akal Aktif (al-`Aql
al-Fa`al)
|
|
Catatan
1. Mohsen M. Saleh, "The Verse
of Light: A Study of Mulla Sadra’s Philosophical Qur’an Exegesis,"
disertasi Ph.D., Temple
University, 1994; S. H.
Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran:
Institute for Humanities and Cultural Studies, 1997), lihat contoh bab 7
"The Qur’anic Commentaries of Mulla Sadra. hal. 123-135.
2. Mulla Sadra, "Fi Dhayli Ayat
al-Amanah," Majmu`a-i Rasa`il Falsafi Sadr al-Muta’allihin (The
Complete Philosophical Treatises of Sadr al-Din Muhammad al-Shirazi),
editor. Hamid Naji Isfahani (Tehran: Intisharat-i Hikmat, 1999), hal. 361.
3. Risalah dengan naskah teks bahasa
Arab yang lengkap, dengan terjemahan bahasa Persia, sekarang sudah diterbitkan
ulang: Sadra, Tafsir-e Aya-e Nur, penerjemah dan editor Muhammad
Khuwaja. Tehran:
Intisharat-i Mawla, 1362. Selanjutnya, risalah ini disebut sebagai Tafsir di dalam tulisan ini. Risalah ini
juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud Salih di dalam
disertasi Ph.D.nya yang tidak diterbitkan. Silahkan lihat informasi
bibliografinya pada nomor 1 di atas.
4. Sebagai contoh, lihat al-Asfar,
1/18, 22, 104; 3/513; al-Waridat al-Qalbiyyah fi Ma`rifat al-Rububiyyah,
editor, penerjemah (ke dalam Bahasa Inggris), dan catatan oleh Ahmad Shafi`iha,
Tehran: Iranian Academy of Philosophy, 1979, hal. 85-86;
al-Mazahir al-Ilahiyyah, editor S. Jalal al-Din Ashtiyani, Danishgah-e Mashhad, tanpa tahun. hal. 25-26.
5. Di dalam defenisi al-Ghazali
terlihat pernyataan yang lebih sufistik, "yankashif", yang berarti
"tersingkap" dan bukan "yuzhar" (mewujudkan) yang dikutip
oleh Sadra di dalam Tafsirnya.
Lihat al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, penerjemah (ke dalam Bahasa
Inggris), pengantar dan catatan oleh David Buchman. (Pruvo: Brigham Young
University Press, 1998), hal. 19; Sadra, Tafsir, hal. 142.
6. Sadra, Tafsir, hal. 147.
7. Bandingkan dengan pensifatan
figuratif cahaya terhadap Tuhan sebagai “kebaikan dan penyebab kepada kebaikan”
oleh Ibn Sina. Lihat juga Fi Ithbat al-Nubuwwat, editor, pengantar, dan
catatan oleh M. Marmura, edisi kedua. (Beirut: Dar al-Nahar, 1991), hal. 49.
8. Sadra, al-Mazahir al-Ilahiyyah
fi Asrar al-Ulum al-Kamaliyya, hal. 25. Selanjutnya kitab ini disebut
sebagai Mazahir saja.
9. Ankaravi juga menulis tafsir
dalam bahasa Arab tentang ayat cahaya dengan judul Misbah al-Asrar, yang
telah dipersiapkan oleh penulis untuk diterbitkan dalam edisi kritik bersama
terjemahan bahasa Inggrisnya. Buku ini sedang dalam proses penerbitan (pada
tahun 2000).
10. Sadra, Tafsir, hal. 148.
11. Sadra, Tafsir, hal. 162;
Bandingkan dengan terjemahan Saleh dalam bahasa Inggris, hal. 151-152.
12. Sadra, Tafsir, p. 164;
Bandingkan dengan terjemahan Saleh dalam bahasa Inggris, hal. 153-4. Juga lihat
tulisan Ibn Sina sendiri tentang penafsiran ini di dalam al-Isharat wa
al-Tanbihat ma`a Sharh Nasir al-Din al-Tusi, editor S. Dunya (Mesir: Dar
al-Ma`arif, 1957-1958), vol. 2, hal. 364-367.
13. Sadra, al-Mazahir, hal. 54.
14. Ibid., hal. 52.
15. Sadra, Tafsir, hal. 162.
16. Ibid., hal. 162-163.
17. Ibid., hal. 162.
18. Sadra, Tafsir, hal. 160.
19. Kelihatannya istilah Ghazali sama
dengan Mulla Sadra, ketika Ghazali menyebut istilah-istilah tersebut sebagai
ruh indrawi (al-ruh al-hassas) dan ruh imajinal (al-ruh al-khayali).
Lihat. Mishkat, hal. 36.
20. Sadra, Tafsir, hal. 160; Bandingkan dengan
terjemahan Saleh dalam bahasa Inggris, hal. 143.
21. Ibid.
22. Juga bisa disebut sebagai "
tidur secara aktual dan hidup secara potensial."
23. Sadra, Risalah Syawahid
al-Rububiyyah, hal. 290-291. Bandingkan. Asfar, vol. 8, hal. 245.
24. Sadra, Syawahid, hal. 291.
25. Ibid., hal. 292.
26. Sadra, Tafsir, hal.
160-161.
27. Ibid., hal. 161.
28. Ibid.
29. Ibid.; Terjemahan Saleh, hal.
147.
30. Sadra, Tafsir, hal. 162.
31. Ibid.
32. Ibid.
33. Sadra, Syawahid, hal. 315.
34. Ibid., hal. 313.
35. Sadra, "Risalah Ittihad
al-`Aqil wa’l-Ma`qul," Majmu`a-i Rasa’il Falsafi Sadra al-Muta`allihin
(Risalah Lengkap Filsafat Sadra al-Din Muhammad al-Shirazi), editor Hamid
Naji Isfahani, (Tehran: Intisharat Hikmat, 1999), hal. 74.
36. Ibid.
37. Sadra, Syawahid, hal. 292.
38. Sadra, Ittihad, hal. 98.
39. Sadra, Ittihad al-`Aqil
wa’l-Ma`qul, hal. 74-75.
40. Idem. The Philosophy of Mulla
Sadra (Albany: SUNY, 1975), hal. 210-229.
41. Sebagai contoh, lihat Mohammad J.
Zarean, "Sensory and Imaginal
Perception Acording to Sadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra) 1569-1640,"
M.A. Thesis (Montreal: McGill University, 1994; Sayyed M. R. Hejazi, "Knowledge by Presence (al-`ilm al-huduri): A Comparative Study Based on the
Epistemology of Suhrawardi (m. 587/1191) dan Mulla Sadra Shirazi (m. 1050/1640),"
M.A. Thesis (Montreal: McGill University, 1994.); Ali Misbah, "Human Cognitive Development in the
Transcendental Philosophy of Sadr al-Din Shirazi and the Genetic Epistemology
of Jean Piaget," M.A. Thesis (Montreal: McGill University, 1994.)
42. Idem. The Philosophy of Mulla
Sadra, hal. 224.
43. Sadra, Syawahid, hal. 292.
44. Sadra, Kitab al-`Arshiyya
(Isfahan: Intisharat-i Mahdawi, 1962), hal. 68. Kutipan ini diambil dari James
W. Morris, The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of
Mulla Sadra (Princeton: Princeton University Press, 1981), hal. 244-245.
45. Idem., op. cit., hal. 244, n.
293.
46. Sadra, Ittihad, hal. 98.
47. Sadra, Ittihad, hal. 75.
48. Dalam istilah Mulla Sadra sendiri
adalah: “an-nafs fi wahdatiha
kullu’l-quwa.” al-Asfar, 4/1, hal. 51, 120-123. kita dapat
membandingkan dengan pernyataan Suhrawardi, “nur isfahbad his jami`u’l-hawass,” (cahaya Isfahbad, yakni jiwa
rasional, adalah indra dari semua indra). Hikmat al-Ishraq, hal. 227.
49. Sadra, al-Asfar, 4/1, hal.
136-136.
50. Sadra, `al-Arshiyyah, p.
68; Morris, Wisdom, hal. 245.
51. Sadra mengatakan: “Inilah
kearifan sang Pencipta” Tafsir, hal. 162.